Pertama kali kita ketemu, kita saling menyapa. Saling berbicara. Dan sekarang seseorang itu berusaha memberikanku luka bersama terbit sang matahari.
***
Di bandara, kami duduk dikursi tunggu. Sebentar lagi kita akan boarding. Kotak yang kemarin diberi oleh tukang paket, sengaja ku bawa dan akan dibuka setelah sampai di Kota London dan rencanaku kali ini, aku akan berusaha tidak akan mengaktifkan ponselku selama bersama Bumi. Segelintir orang penghuni bandara terlihat begitu terburu buru saat terdengar suara peringatan bahwa pesawat mereka akan segera berangkat.
"Kamu bawa tiketnya kan, Ai?"
"Kalau gak dibawa kenapa?"
"Kita gak jadi berangkat lah."
"Kalau gitu, kita ulang waktu saja biar kita gak jadi berangkat," Bumi merangkulku lalu meletakkan kepalaku dipundaknya. Aku nyaman, tak berkutik sama sekali.
"Ai, kita sudah sepakat lho buat berbaikan sebelum datang ke London," aku hanya diam.
"Aku tahu, kamu ingin sekali pergi ke Kota Milan, iyakan? Aku janji, setelah ini, kamu bakalan pergi ke sana. Setelah ceritanya sudah tak menjadi sebuah teka teki lagi."
"Aku paham, Bumi."
Peringatan pesawat kita yang akan segera boarding membuatku dan juga Bumi langsung berjalan ke area depan. Memberikan tiketnya kepada petugas bandara. Petugas itu mengecek semua nama penumpang, tujuan, nomor pesawat, boardingĀ gate, bandara kedatangan hingga nomor tiket.
Oh, Bumi, mungkin tujuanmu mengajakku untuk pergi hanya untuk membuatku kembali bingung. Tanpa tujuan, tanpa arahan, tanpa rencana saat bersamaku, dan tanpa persetujuan yang kudapatkan dari awal. Kita pergi bukan untuk mencari sebuah cerita lagi, kita harus bisa menyelesaikan dan sesegera mungkin aku akan pergi ke tempat Devan yang ingin sekali ku daki bersama sama.
Di dalam pesawat, kita hanya diam. Aku memandangi kaca jendela awak pesawatnya. Awanya dekat sekali dengan kaca jendelaku. Kali keduanya aku yang mengalah. Mengalah untuk pergi ke kota yang sama sekali belum aku kenal.
Goodbye Lampung city.
Kota yang tak pernah sepi dari orang orang yang selalu berlalu lalang, perpustakaan yang masih menjadi suatu kenangan, dan bakso mang Warso yang selalu membuatku terbang seperti seorang peri.
Aku memasang earphone ke sebelah telingaku. Menyetel lagu yang ku suka. Memejamkan matanya sejenak lalu melirik ke arah Bumi. Aku tertegun saat melihat ke arah Bumi. Jadi, sedari tadi dia sedang menggambar? Tapi sejak kapan? Sejak kapan ia bisa menggambar?
Aku mencopot earphonenya dan biarkan bertengger dileherku. Aku memandangnya, dulu Bumi tidak pandai menggambar. Bumi menengok ke arahku lalu melepaskan earphonenya.
"Sejak kapan nama Bumi bisa menggambar sebagus itu?"
"Sejak kamu belum tahu tentang persoalan yang sebenarnya."