Bisa saja perihal rasanya berubah menjadi gemerlap dan mati ditelan keabadian.
***
First day in London.
Setelah perjalanan lama untuk menuju ke kota London, aku dan Bumi mencari hotel untuk tempat tinggal selama beberapa hari ke depan. Ia menggenggam tanganku sepanjang jalan. Kadang aku menjahilinya, sengaja meninggalkan tas koperku lalu memeluk tubuh Bumi sangat erat. Bumi pasti kesal, lalu mengambil tas koperku yang tergeletak di tengah jalan.
"Bumi, gendong," entah kenapa saat pergi bersama Bumi, sifat pendiamku berubah menjadi manja. Ia mengacuhkanku lalu memasukkan kopernya ke dalam bagasi taksi.
"Mau pakai taksi bagaimana gendongnya sih, Ai?" kata Bumi dengan raut kesalnya.
"Kalau udah beres beres di hotel kita beli lolipop, ya?" aku melenggang dan duduk dikursi penumpang.
"Where are you going?" ucap supir taksi itu.
"The East London Hotel," kata Bumi.
Aku sedari tadi melihat ke arah jendela. Menatap keramaian yang begitu ramai. Menatap gedung gedung yang selalu saja mencakar langit. Tiba tiba kepalaku ditarik oleh Bumi lalu tubuhku dipeluk begitu hangat. Ku tatap matanya tanpa kedip, rasa rindu yang benar benar rindu menemaniku setiap malam.
Dev sedang apa? Pikirku.
"Nggak boleh dilepas, Ai," kata Bumi sambil menepikan rambutku ke belakang telinga.
"Nggak papa. Nyaman kok," jawabku lalu menyandarkan kepalaku ke dada bidang milik Bumi.
Waktu itu, semesta pernah bilang. Seseorang butuh pendamping, butuh teman untuk menjadikannya keluhan rasa yang tertancap di dalam hati. Namun, nyatanya semua orang masih bisa menyembunyikan hal yang sama sekali tidak diceritakan. Aku hanya bisa merangkai alur yang akan ku tebak seperti apa setelah ini. Mencari cari jawaban yang sudah lama hilang. Juga mencari cari orang yang akan hidup selama dialam keabadian.
Aku turun dari taksi setelah taksinya sudah sampai di The East London Hotel. Membiarkan Bumi yang sedang bercengkerama sama petugas hotel ini. Ia lalu memberikan satu kunci yang berbandul angka 32. Tanganku terus saja menggenggam tangannya.
"kita nggak satu kamar, kan?" tanyaku.
"Ya enggaklah, kamu mau satu kamar sama aku? Biar ku peluk sampai pagi," jawab Bumi dengan seringaian yang begitu jelas dimataku.
"Bumi..." lalu Bumi tertawa melihat raut kekhawatiran diwajahku. Dia sering sekali menggodaku.
"Ya udah sana masuk. Kamarku ada disebrang kamarmu. Kalau ada apa apa, tinggal masuk kekamarku aja, ya? Istirahat dulu habis ini kita jalan jalan," katanya.
"Peluk," kataku lalu dipeluk olehnya begitu erat. "Bumi jangan pergi lagi, ya?" gumamanku terdengar jelas ditelinga milik Bumi.