Salah satu yang membuatku ingin menjadi orang paling bahagia, ketika kamu mudah menerima kehadiran orang baru.
***
Ternyata, Bumi benar. Orang baru yang sudah mengenalku sedang tak baik baik saja. Ia sedang koma dengan keadaan yang sangat buruk. Pasti ia hancur melihat keadaanku yang seperti ini. Aku pergi menemui Devan yang sedang di Kota Milan. Sebelum pergi, aku menuliskan secarik kertas untuk Kasa juga menemui kuburan Bumi untuk pamit menemui Devan.
Aku menaruh secarik kertas untuk Kasa melalui sela sela pintu kamar hotelnya.Tulisan agar membuatnya tidak begitu khawatir denganku. Agar ia tidak mencari cari keberadaanku lagi.
Kasa, aku minta maaf. Aku sudah membaca buku dan melihat video dvd milik Bumi. Terimakasih sudah memberi tahuku. Aku akan menemui Devan yang sedang koma. Jangan mencari cariku lagi, ya? Tugasmu sudah selesai.
Lalu aku masuk ke dalam pesawat yang sudah menjadi alat transportasiku saat ini. Aku membuka ponselnya, mengirimkan pesan untuk Restu.
Aileen : ini masalahnya rumit, Restu. Bertubi tubi dan datang secara bersamaan. Aku akan menemui Dev, dia di rawat di rumah sakit mana?
Tidak dapat balasan. Akhirnya aku membuka tas ransel kecilku. Mengambil tiga buku sekaligus, buku dari Devan, buku dari Jessy, lalu buku dari Bumi. Buku yang mengajariku arti kesabaran, menguras tenaga untuk tidak menangis. Aku memasukkan bukunya kembali ke dalam ransel kecilku.
Mataku menatap jendela pesawat. Ternyata sudah jauh sekali aku berlayar dan menemui orang orang baru yang harus terlibat ke dalam ceritaku. Dari Bumi yang sudah mengenalku sejak pertemuan di depan perpustakaan kota, lalu hilang dan pergi di telan keabadian. Dari Devan yang meminta untuk menepi ke ceritaku, lalu sedang koma karena aku.
Dari Jessy anak didikku yang ada di Kota Milan, lalu mengenalku sebagai gurunya. Yang terakhir, Kasa. Orang baru yang mirip sekali seperti Bumi. Orang yang menolongku untuk mencari titik jawaban dan aku memilih untuk tidak mencintainya lagi, karena Bumi melarangku. Bumi hanya menyuruhku agar kembali ke orang baru, Devan.
Ternyata, waktu menguras semua rencanaku dari awal. Rencana yang membuatku hilang menjadi diriku sendiri, rencana yang selalu membuat kebingungan, lalu rencana yang sekarang sudah menjadi titik penjelasan bahwa aku harus tulus mencintai satu orang.
"Hey, why are you crying?"
Aku terkejut saat sedari tadi ternyata aku meneteskan air mata. Orang yang sedang duduk di sampingku menatapku dengan tatap kasihan.
Aku langsung mengelap air mataku menggunakan tangan dan mencoba untuk tersenyum. "It is alright," jawabku.
Wanita yang masih muda itu memberikan tisu untukku gunakan, "wipe using a tissue. Surely your problem is very heavy, huh?"
Aku menerima tisunya lalu terkekeh kecil, "Ah no. thank you for this tissue."
Jelas jelas masalahnya sangat berat dan bertubi tubi. Air mataku menandakan kalau semuanya tidak baik baik saja. Wanita yang duduk di sampingku hanya memperhatikanku yang sedang melamun. Aku agak risih diperhatikan seperti itu, namun sebisa mungkin aku mendiamkan saja.
Mataku menutup dengan sendirinya, aku tertidur. Deskripsi yang berhubungan tentang orang baru hilang seketika, argumen tentang Devan lenyap seketika. Bumi, Devan, dan Kasa, hanya menjadi satu titik yang bisa ku gemari dalam sebuah rencana. Rencana yang tak serapih milik Tuhan.
Dan rencana yang selalu membuatku kebingungan telah menjadi abu untuk ditiup ke dasar lautan. Aku sudah berlayar untuk menuju titik jawaban. Satu selesai, Bumi dan Kasa memang sama sama mirip. Dia hanya berbeda argumen juga keahlian. Hanya Devan yang belum ku ketahui. Dan aku akan mencari tahu.
Setelah melakukan transit yang kedua kalinya. Aku benar benar sudah sampai di Kota Milan. Kota yang memberiku tahu bahwa orang baru juga bisa menginginkan untuk menepi ke cerita milik orang lain. Nuansanya sangat tidak bersahabat, mungkin kota mati ini sudah sangat marah kepadaku. Karena aku meninggalkan Devan begitu saja. Meninggalkannya dengan sejuta harapan yang ingin sekali didakinya bersama Devan.
Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kakiku di apartemen. Aku memandangi seluruh ruangan yang ada di apartemenku ini. Sama sekali tidak berubah, sudut sudutnya terlihat jelas bahwa ini benar benar apartemenku. Jadi, Devan pernah masuk ke dalam apartemenku saat aku tidak ada di kota ini dan ia mengambil buku pemberiannya yang semula ku letakkan di dekat televisi.
Aku berjalan ke arah tangga. Menggeret koperku yang begitu berat. Terkadang, aku ingin hidup normal seperti orang orang lainnya. Lebih tepatnya, aku menginginkan kisah cinta yang normal, tidak menyulitkan seperti ini. Pasti, Devan akan bangga ketika melihat dan merasakan kisah cintaku yang begitu rumit.
Saklar lampu kamar yang telah menyala membuatku menghela napas. Tubuhku lelah sekali. Mungkin, sedikit istirahat dan berleha leha akan membuat rasa kecemasan tentang Devan hilang dan lenyap begitu saja. Selesai membersihkan tubuhku, aku duduk dikursi meja kerja, meja kecil dan satu kursi yang sering ku lakukan untuk mengecek kondisi atau sikap murid muridku melalui buku catatanku.
Buku bewarna cream membuatku sedikit penasaran. Setahuku, dulu aku tidak memiliki buku itu. Buku yang berjudul 'Puisi Dev Untuk Aileen' membuatku tersenyum dan membenarkan posisi dudukku sedikit tegak. Aku membacanya...
Kata Pengantar.