"Seharusnya, malam ini juga aku di sana, di rumah sakit buat nemenin Devan yang sedang operasi," ucapku sambil membenarkan kepalaku yang sudah ku senderkan dibahu milik Kasa.
"Devan nggak mengijinkanmu buat menemuinya sebelum dia yang harus pergi duluan, Ai," kalimat itu membuatku tiba tiba memeluk tubuh Kasa begitu erat.
"Kamu nggak pergi seperti mereka, kan?" tanyaku.
"Suatu hari Tuhan akan mencabut nyawa manusia dalam satu hari itu juga dan aku nggak tahu akan dicabut nyawanya setelah Devan atau nggak," katanya dan itu sukses membuatku menatap wajah Kasa.
Tuhan benar, dalam satu hari itu pasti ada orang yang pergi dari bumi. Mungkin besok ada dan besoknya lagi ada, seterusnya sampai aku nggak tahu kapan aku bisa bahagia.
Kebahagianku bukan suatu rencana yang sedang ku lukis hari itu. Waktu itu, hanya ada Kasa yang sedang menemaniku di dalam kamar. Menamaniku agar aku nggak pergi buat ke rumah sakit.
Bumi sudah pergi.
Devan akan ikut ikutan pergi karena mengorbankan nyawanya buat seseorang.
"Sa, rencana manusia nggak ada yang tahu, kan? Dan kamu nggak boleh pergi setelah ini. Tuhan nggak akan ngebiarin aku buat larut ke dalam kesedihan."
"Tidur, besok kita pergi menemui Devan."
"Menemui orang yang udah nggak ada nyawanya lagi, ya?" tanyaku lirih dan parau.
"Aku nggak tahu harus bilang apalagi sama kamu, Ai. Aku belum bisa ngertiin kamu. Jadi, buat malam ini kamu harus nurut sama aku. Tidur tanpa harus memikirkan masalah apapun. Sekarang kamu harus naik ketempat tidurmu," katanya lalu menuntunku untuk naik ketempat tidurku.
Dia menyelimutiku, mengelus rambutku pelan lalu berkata, "aku akan tidur disofa depan. Jangan kabur."
Aku mengangguk, "kamu 'kan bisa tidur disofa kamarku."
"Satu laki laki dan satu perempuan nggak boleh tidur di ruangan yang sama tanpa ada ikatan apapun," katanya.
"Kamu nggak boleh pergi dari apartemenku Sa," setelah itu Kasa keluar dari kamarku. Aku menatap langit langit kamarku. Air mata yang sudah ku bendung sedari tadi akhirnya jatuh ke pelipisku.
Dan malam itu pun aku bisa menangis.