The Perfect Abandoned Princess

Catherine Stevani
Chapter #2

Satu

"Loh? Lo gak balik, Vale?"

Aku menoleh pada salah satu temanku yang juga bersekolah di Gold Generation International School. Tepatnya ia salah satu kakak kelasku, Erlangga namanya. Aku tersenyum canggung dan menunjuk laptop yang selalu kubawa ke mana-mana di mobil dengan daguku. Sementara ia langsung duduk di hadapanku, karena kami memang cukup dekat. "Biasa, Kak, aku lagi jalanin tugas sebagai proofreader."

Kak Elang, begitu dia dipanggil, mengangkat alisnya seolah ragu dengan jawabku. Ia menatapku dengan pandangan menilai. Aku menarik kedua sudut bibirku lebih tinggi, mengenyahkan perasaan tak nyaman akan tatapannya. "Gue ke sini tadi jam setengah dua belas, makan siang. Dan lo udah ada di sini. Ini udah jam…." Ia menyalakan ponselnya untuk memastikan detail jam berapa sekarang. "Jam delapan lewat tujuh belas, lo masih di sini. Lo kenapa, sebenarnya? Apa jangan-jangan…." Kedua mata milik Kak Elang menyipit curiga bercampur tidak suka. "Lo diusir dari rumah, ya? Makanya lo ke sini, karena bisa makan gratis," tebaknya asal dengan sedikit sentuhan senyum miringnya. 

Aku sedikit terperangah, tak menyangka dugaannya akan begitu aneh dan ngawur. Kukedipkan mataku beberapa kali, lalu tertawa kecil. "Nggak, Kak!" Elakku. Aku meminum teh lemon dingin yang kupesan tadi. "Lagi pula, aku gak ada niat buat masalah sampai-sampai diusir dari rumah," tambahku sambil terkekeh kecil.

Kak Elang ikut tertawa. "Iya juga, gak mungkinlah seorang Valerie Agatha yang anggun gini buat masalah sampai diusir," candanya diiringi tawa kami. Ia melihat jam di pergelangan tangannya, lalu beralih lagi padaku dengan sebuah senyum tulus. "Gue tahu lo lagi nungguin pacar lo. Dan gue juga gak ada hak ikut campur dalam hubungan kalian," katanya dengan nada yang berubah serius. "Tapi, lo juga dulu udah baik banget sama gue dan… Rhea." Ia terdiam sejenak, jelas sulit bagi Kak Elang untuk menyebut nama itu. "Jadi, gue gak akan bisa tutup mata lihat posisi lo kayak gini. Ini sebenarnya bukan saran, cuma sekadar pengingat. Keluarga memang lebih penting dari pacar, tapi lo juga manusia, Vale. Dia harusnya bisa hargai lo, gak bisa seenaknya buat janji terus gak datang kayak gini. Gue yakin, dia gak ada kasih lo kabar sedikit pun, 'kan? Benar-benar kelewatan."

Aku tersenyum kecil melihat sorot mata Kak Elang yang jauh dari kata bersahabat. Ada sedikit rasa sejuk melihat ia--satu-satunya orang yang tahu masalahku--benar-benar peduli dan bukan hanya sandiwara. "Makasih banyak, Kak. Kakak mau pulang, 'kan? Mau video call-an," godaku.

Kak Elang menghela napas berat, lalu mengacak rambutku gemas. "Lama-lama adik angkat gue makin banyak," gumamnya kecil. 

Aku tertawa kecil mendengar gumamannya. "Kakak auranya terlalu ke-abang-an," balasku ikut bercanda.

Kak Elang menghela napas berat, ia berganti menatapku lembut. "Gue tahu lo sayang banget sama Given, karena itu gue gak pernah paksa lo buat tinggalin dia. Tapi, setidaknya pikirin diri lo sendiri. Ini hidup lo, gue yakin lo gak sedungu itu sampai gak sadar perjuangan lo udah berlebihan." Ia berdiri dengan wajah ragu. "Maaf ya, gue mau temanin lo di sini. Tapi, gue udah janji sama Stephanie mau video call. Soalnya, nanti waktu masuk sekolah belum tentu gue bisa video call dia tiap hari."

Aku mengangguk. "Udah, sana! Kasihan nanti tunangan Kakak," usirku.

Sekali lagi, Kak Elang mengacak rambutku, lalu pergi sambil sesekali menoleh padaku.

Aku menghela napas berat, memikirkan kata-kata Kak Elang barusan. Ia benar, aku berada di kafe ini sejak jam setengah sebelas pagi hingga sekarang, mungkin setengah sembilan, hanya untuk menunggu seorang Given Albrecht yang selalu tepat waktu. Sayangnya, aku pengecualian dari kata 'selalu' di kalimat sebelumnya.

Jam setengah dua belas siang, aku akhirnya memutuskan untuk makan siang.

Jam dua belas siang, aku kembali ke mobil dan mulai membuka laptop untuk mengerjakan salah satu pekerjaanku.

Jam delapan kurang enam malam, aku selesai dengan pekerjaanku dan memesan makan malam. 

Jam delapan lewat tujuh belas malam, Kak Elang datang dengan kata-katanya yang membuatku mengulang kegiatanku di kafe ini.

Dan kini, jam sembilan kurang delapan, dia baru membuka pintu kafe dengan wajah kesal miliknya yang sangat biasa kulihat.

"Vale!"

Lihat selengkapnya