The Perfect Abandoned Princess

Catherine Stevani
Chapter #3

Dua

Lima tahun.

Aku sudah lima tahun terjebak di dunia ini. Tapi, rasanya waktu berjalan dengan sangat cepat. Atau mungkin itu karena tubuh bayiku ini terus menerus tertidur. Di usia ini, aku sudah mulai diajari tentang sejarah kerajaan. Tidak perlu terkejut, karena di usia tiga tahun aku sudah diajari cara membaca dan menghitung, walau belum begitu intens. Sementara sejak aku dapat berjalan dengan lancar tanpa tiba-tiba terjungkal ke belakang atau jatuh telungkup, aku sudah diajari tata krama khas kerajaan. 

Tentu saja aku dapat melewatinya, di dunia nyata usiaku sudah menginjak angka enam belas. Walau masalah berjalan, memegang pensil, dan hal temeh lainnya cukup sulit kulakukan karena memakai kekuatan tubuh ini, bukan hanya otakku. Hanya saja, aku baru menyadari bahwa Annemie benar-benar jenius. Di dalam alur asli, ia melewati itu semua dengan baik dan nyaris sempurna. Ia benar-benar sangat sukses dan sempurna, hingga rasanya tidak masuk akal. Itu juga hal yang membuatku agak membenci karakternya; terlalu tidak masuk akal. Yah, aku mengikuti sebagian besar alur awalnya untuk menghindari adegan yang tidak terduga.

"Tuan Puteri!"

Aku menoleh pada asal suara. Ah, itu Veertje Heusdén. Ia adalah pelayan pribadiku sejak aku membuka mata. Jika kau ingat, ia adalah orang yang berkata "Ya Tuhan!" saat pada akhirnya Annemie membuka mata. Sebenarnya aku sedikit tidak menyukai keberadaannya di sekitarku. Ia adalah orang yang akan berteriak memekik saat Annemie akan melarikan diri. Karena Veertje ini, Annemie berakhir dikejar-kejar penjaga. Bisa dibayangkan, seberapa repotnya aku di masa depan karena sosok Veertje? Sayangnya, aku tidak bisa memecatnya tanpa alasan. Bisa-bisa, alurnya justru semakin membahayakan posisiku.

Aku berkedip, menyadarkan diri dari lamunanku sendiri. Kutarik kedua sudut bibirku, kebiasaan 'Annemie' yang membuatnya dicintai nyaris seluruh umat manusia. "Ya, Veertje?" Tanyaku dengan nada lembut yang menggemaskan.

Veertje menahan senyumannya, lalu menggelengkan kepalanya sedikit. "Tuan Puteri, ini saatnya kita pergi ke istana utama untuk sarapan keluarga," katanya.

Aku mengangguk mengerti, lalu menutup buku sejarah Kerajaan Welvarend yang tadi sedang kubaca. Aku di dunia nyata memang termasuk cerdas. Tapi, tetap saja ada beberapa ilmu yang tidak ada di dunia nyata, namun ada di dunia ini. Contohnya, sejarah kerajaan Welvarend, sejarah kerajaan di sekitarnya, geografis benua ini, hubungan relasi antar kerjaan di daerah ini, dan banyak lagi.

Kutaruh buku tadi ke atas meja yang ada di sebelah kananku dan turun dari sofa dengan sedikit kesulitan. Veertje langsung bergegas memimpin langkahku menuju ruang makan keluarga yang berada di istana utama. Istana tempatku saat ini merupakan istana yang paling dekat dengan istana utama. Atau setidaknya itulah yang kuketahui setelah membaca buku ini hingga tamat dan tinggal di dalamnya selama tiga tahun. Aku menggerutu dalam hati, mengapa penulisnya tidak pernah begitu spesifik menjelaskan tatanan kerajaan ini, setidaknya aku akan lebih mudah menyelamatkan diri bila sesuatu terjadi.

"Veertje," panggilku saat kami baru saja duduk di kereta kuda.

"Ya, Tuan Puteri?"

Aku termenung sejenak, memikirkan kembali pertanyaan yang tadinya ingin kutanyakan. Pertanyaan itu sebenarnya cukup berbahaya untuk nama baikku, tapi usiaku baru lima tahun. Seharusnya, pertanyaan dengan sorot mata dan nada yang polos tidak akan menyebabkan masalah besar. Orang-orang akan menganggap itu semua wajar, karena aku anak kecil. Yah, walau aku tetap harus sedikit mengatur kata-kataku. "Em, Veertje," panggilku lagi dengan nada ragu. "Aku tahu ini tidak baik untuk ditanyakan, tetapi aku benar-benar ingin mengetahuinya," kataku dengan nada ragu, lagi. "Apa… Anneke ikut sarapan bersama hari ini?" 

Veertje menatapku dengan ragu, lalu menghela napas berat. "Tentu saja, Tuan Puteri."

Aku menipiskan bibirku yang sejak awal sudah mungil. Artinya, sejauh ini alurnya masih sesuai dengan buku. Ah, atau setidaknya itulah yang kuketahui. "Veertje, sebenarnya… aku sangat penasaran akan sesuatu." Aku menggantung kata-kataku, tapi tidak memberinya kesempatan bertanya. Aku segera melanjutkan dengan kedua mata menyorotnya polos. "Sebenarnya, bagaimana Anneke terlihat? Aku selalu penasaran, tetapi yang kuketahui hanyalah matanya yang tidak sewarna dengan Yang Mulia Ayahanda. Apa… dia mirip denganku, Veertje?" 

Lihat selengkapnya