The Perfect Abandoned Princess

Catherine Stevani
Chapter #4

Tiga

"Terlambat di acara penting saat bahkan ini pertama kalinya ia keluar dari istana. Memalukan sekali, di mana sopan santunnya," dengus Ratu Belinda tanpa menoleh.

Aku sendiri lebih memilih menatap Anneke yang hingga saat ini masih berdiri di ambang pintu, seolah benar-benar menunggu seluruh perhatian tertuju padanya. Tidak seperti dugaanku semasa hidup di dunia nyata, Anneke di sini benar-benar angkuh tanpa alasan, atau mungkin itu hanya dilakukannya untuk mempertahankan harga dirinya. Gaunnya memang tidak semewah milikku, tetapi ia jelas menginginkan perhatian lebih terserot padanya. Ia kini mengenakan gaun sewarna kulit lemon segar dengan sepatu hak tinggi yang bahkan tak bisa dikendalikannya, terbukti dari caranya berdiri yang beberapa kali bergetar nyaris jatuh. Tak pernah kuduga, ia akan benar-benar terlihat semenyebalkan ini. Ia benar-benar ingin membalas dendam pada Annemie yang bahkan sampai akhir pun masih menyayanginya.

Oh benar, aku belum menjelaskan atau membahas aturan berpakaian dalam acara resmi di kerajaan ini. Jadi, karena warna mata pemimpin mereka berwarna merah menyala, baju resmi berwarna gelap. Ya, kode baju tersebut sengaja dibuat sesuai dengan warna mata keluarga kerajaan. Karena, bayangkan saja jika matamu sewarna rubi yang berkilauan, lalu kau tiba-tiba mengenakan pakaian berwarna kuning-hijau? Tentu saja, sangat aneh. Tapi, peraturan itu tidak hanya berhenti di kata 'harus', karena melanggar peraturan itu juga memiliki makna tersendiri. Memakai gaun berwarna heboh di acara resmi (kecuali memang sudah disediakan kode pakaian yang disertai surat resmi persetujuan dari kerajaan) akan dianggap sebagai penghinaan pada pemilik acara atau bahkan pada pewaris tahta (dalam hal ini dimaksud pada raja atau pada pangeran/puteri mahkota). Jadi, singkatnya kini ia sedang berdiri dengan senyum angkuh yang bermakna menghina aku sebagai pemilik acara sekaligus puteri mahkota. Benar-benar pelanggaran yang pantas mendapat ganjaran pemenggalan kepala, atau mungkin pengasingab atau cambukan mengingat ia masih tergolong bangsawan (walau terbuang).

Raja Dewitt yang sejak tadi membuang muka (mungkin ia juga tak menginginkan kehadiran puteri bungsunya), kini termangu menyadari warna gaun yang dikenakan Anneke. "Beraninya kau!" Bentaknya menyuarakan isi hati orang-orang yang ada di ruangan ini. 

Ratu mengangkat kepalanya yang tadi menunduk menahan amarah. Ia mengikuti arah yang ditunjuk raja dengan tangan yang gemetar penuh emosi. Matanya langsung membesar saat mendapati Anneke yang sudah melangkah lambat menujunya dengan wajah angkuh tanpa beban. "Kurang ajar!" Geramnya. Ia beralih pada para penjaga, lalu ikut menunjuk pada gadis itu. "Kalian menunggu apa lagi?! Tangkap penjahat itu!" Pekiknya marah.

Gadis itu tetap tenang saat kedua lengannya ditahan penjaga. Baiklah, kata 'gadis' yang mungkin sudah empat kali kusebut sama sekali tidak cocok. Ia masih berusia lima tahun, sebutannya lebih cocok 'bocah'. Tapi, aku tidak bisa menyebut Anneke yang lebih kukenal saat ia berusia delapan belas dengan sebutan 'bocah'. Jadi, biarkan saja. Toh, ia tidak akan mengetahui apa sebutan yang kugunakan untuknya.

Hatiku sakit dan mataku menatap gadis itu dengan nanar. Mungkin ini efek aku yang kini menjadi Annemie, aku jadi ikut merasakan perasaan anak sulung itu. "Anneke?" Panggilku pelan dengan nada tak percaya.

Raja Dewitt menoleh brutal pada Veertje. "Apa lagi yang kau tunggu? Jauhkan Annemie dari anak itu!" Perintahnya kesal.

Veertje yang sejak tadi terbengong sembari berdiri di depan dinding serta di belakang kursiku segera mendekat, lalu memelukku erat. Aku tahu, ia sengaja menutupi pandanganku dari Anneke yang kini menatap lurus penuh dendam padaku. "Yang Mulia, tolong jangan melihat ke arah sana," pintanya.

Aku tak peduli, aku terpaku pada tatapan Anneke yang jelas terlihat bahwa ia tengah terbakar amarah. Dadaku terasa sesak, sama seperti saat pada akhirnya aku putus dengan Given, karena ia selalu membuangku demi Gladys. 

Ah, tidak. Mungkin lebih sakit dari itu. Aku tidak tahu, mungkin ini yang akan kau rasakan bila saudaramu membencimu saat kau bahkan baru kali ini melihatnya. Mataku terasa panas, ada air mata yang menumpuk di pelupuk mataku. Aku membuang muka, berusaha menutupi bulir air mata milikku yang baru saja menetes. 

"Tuan Puteri," panggil suara yang kuketahui adalah Nicolaas.

Aku mengangkat wajahku dengan mata yang aku yakini sudah sangat merah. Aku masih bisa menahan getaran pada suaraku saat akan menyahuti panggilannya. Tapi tetap saja ujung bibirku bergetar saat memaksakan seulas senyum. "Ya?"

Ia tampak ragu, tetapi tak urung mengulurkan tangannya padaku. "Ke taman?" Tawarnya takut-takut.

Aku menatapnya bimbang. Di novel, tak dijelaskan apa pilihan Annemie. Bahkan, kejadian ini sama sekali tidak dibahas sedikit pun. Kalau aku pergi, aku akan lebih dekat dengan Nicolaas, salah satu calon jodoh Annemie. Tapi, hubunganku dan Anneke sepertinya akan memburuk. Tapi, bila aku tetap di sini, ada kemungkinan hal sebaliknya yang berlaku. Atau, justru dua-duanya membenciku. Kembali aku menoleh pada Anneke yang kini dimaki Ratu Belinda, tapi ia tampaknya tak mepedulikan makian Sang Ratu. Ia masih sibuk menyorotku dengan penuh dendam kesumat. 

Aku menghela napas berat, bagaimana bisa sepelik ini. Maksudku, mereka baru berusia lima. Kugerakkan bibirku tanpa suara menyebut "Maaf." Nicolaas nyaris menarik kembali tangannya saat aku pada akhirnya meraihnya. Aku mencoba tersenyum lebih lebar, walau dengan sorot sendu yang tak bisa kusembunyikan. "Boleh."

Sedikit ragu, Nicolaas menarik tanganku untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Kami berjalan bersisian di koridor istana dalam keheningan, walau aku masih bisa mendengar beberapa langkah kaki, mungkin itu hanya pelayan dan penjaga yang sedang bekerja. Nicolaas mungkin merasa sungkan, karena walau kami memang berteman dan ia sangat baik, responsku selalu terbatas karena aku masih bimbang apa ia perlu kujadikan teman. Tapi sekarang aku yakin, aku benar-benar butuh sosok yang dapat dipercaya sepertinya. Lagi pula, seperti yang kukatakan tadi, ia bisa jadi alternatif jodoh bagi Annemie.

"Nicolaas," pangilku pelan saat kami baru saja berbelok ke kanan.

Lihat selengkapnya