Aku termenung.
Aku sedang tidak memiliki kegiatan apa-apa. Dan di siang hari yang sangat cerah ini aku justru meminta Veertje menemaniku ke istana utama. Setengah jam pertama kami hanya berkeliling tanpa tujuan. Hingga mataku menangkap pintu dengan ukiran 'Ruang Makan Keluarga', tempat pertama yang direncakan akan menjadi ruang perundingan masalah pertunanganku hampir setahun yang lalu. Tetapi, karena beberapa alasan, acara dipindahkan ke ruang makan resmi yang berjarak beberapa meter sebelumnya.
Melihat ukiran tersebut, aku teringat taman yang menyimpan banyak sekali memori manis Nicolaas dengan ibunya. Beberapa kali aku juga menghabiskan waktu mengobrol di sana dengan Nicolaas. Dan… di sinilah aku. Duduk di atas sebuah selimut piknik yang dipinjam Veertje dari gudang istana sambil termenung menatapi Bunga Rubi.
"Tuan Puteri," panggilnya.
Aku menoleh, tak lupa dengan seulas senyum manis, jangan lupakan bahwa aku perlu menarik empati sebanyak-banyaknya. "Ya?"
"Saya mohon undur diri, saya harus pergi ke kota untuk melihat rancangan gaun yang akan anda kenakan di acara-acara resmi dan beberapa gaun lain. Ah, saya juga harus memastikan persiapan gaun perayaan satu tahun pertunangan anda dengan Tuan Muda Roosvelt," jelasnya panjang lebar. Aku mengangguk sekilas, menjinkannya pergi tanpa banyak bicara tapi tetap menampilkan senyum yang sukses menciptakan pegal di otot-otot wajahku. "Jika anda membutuhkan sesuatu, Tuan Aalrik Heemskerk ada di pintu tempat kita datang tadi. Saya sudah memintanya untuk tidak mengganggu anda," tambahnya.
Aku mengangguk sekilas. "Terimakasih, Veertje."
"Tentu saja, Tuan Puteri."
Dan setelahnya, bisa ditebak, aku kembali termenung.
Bunga Rubi. Bunga itu sangat indah. Kuntum bunganya serupa Amaryllis, tapi dengan kelopak merah berkilau dan beberapa butiran rubi di bagian putiknya. Yang membuatnya tampak sangat unik adalah pohonnya yang tampak seperti pohon bunga mawar dengan batang yang lebih tebal dan dikelilingi batang lain yang berduri. Anehnya, itu adalah pohon yang sama, terbukti dari bunganya yang sejenis. Hanya saja, bunga dari pohon yang berdiri sedikit lebih besar. Dan bila mataku belum bermasalah, aku merasa seolah bunga itu juga lebih berkilau. Bukan, bunga yang ditengah itu seperti mengeluarkan cahayanya sendiri, bukannya memantulkan cahaya dari lampu atau matahari.
Aku mengembuskan napas bosan.
Memandangi sebuah tanaman untuk sepuluh menit pertama memang mengasyikkan. Tapi bila sepuluh menit itu telah berganti dengan satu jam, maka rasanya sudah berbeda. Sangat membosankan hingga rasanya aku benar-benar ingin muntah.
Aku berdiri dari dudukku dan merapikan gaun berwarna merah delima ini. Aku berjalan dengan langkah teratur menuju tempat di mana Aalrik sudah berdiri menyambut kedatanganku. Aku membiarkannya membimbingku berjalan hingga kami sampai di pintu utama menggunakan rute memutar. Mungkin ia paham bahwa aku sangat bosan dengan kosongnya jadwal hari ini. Aku duduk, lalu memandang ke luar kereta kuda. Tiba-tiba, satu nama terlintas di kepalaku.
"Kembali ke Istana Emerald, bukan, Tuan Puteri?" Tanya Aalrik memastikan.
Aku refleks menggeleng. "Mari kita pergi ke kediaman keluarga Roosvelt."
"Keluarga Roosvelt?"
"Ya, kediaman tunanganku."
-TPAP-
"Mohon maaf, Tuan Puteri. Tuan Muda Roosvelt sedang berlatih pedang."
"Apa maksudmu?! Kau bisa menyuruhnya berhenti!" Protes Aalrik tidak terima.
Aku mendongak menatapnya, lalu tersenyum. "Tidak apa, Aalrik." Aku beralih pada wajah pelayan tadi yang sudah memutih melihat jemari Aalrik siap menarik keluar pedang miliknya. "Aku mengerti. Aku ke sini hanya untuk mengobrol dan minum teh. Aku tidak akan mengganggu jadwalnya," jelasku. "Mari kita kembali, Aalrik."