"Menurut Dina, sebaiknya Dina tinggal di rumah Kak Andra saja. Walaupun agak jauh, tapi di sini aman dan nyaman daripada di kos. Dina suka kok suasana di sini," ujar Dina.
***
Setelah beberapa minggu berlalu, Dina sedikit menyesali keputusannya untuk tinggal di rumah Andra. Selain jaraknya yang cukup jauh dari kampus, Dina juga merasakan kesepian yang luar biasa. Andra yang dulu berjanji akan menjenguk Dina satu minggu sekali namun nyatanya tak pernah datang. Para tetangga di perumahan itu juga tidak sering bersosialisasi, mereka hanya keluar saat pagi untuk bekerja dan pulang di malam hari. Dina bahkan tidak memiliki teman dekat di kampus selama ospek, ia lebih memilih menutup diri dari lingkaran pertemanan. Satu-satunya teman cerita yang ia miliki adalah kakek dan neneknya. Setiap hari ia selalu menelepon kakek dan neneknya untuk menceritakan kegiatannya.
Pada hari minggu itu Dina sedang bersantai. Ia berbaring di sofa sambil asyik menonton televisi. Tiba-tiba sesuatu jatuh mengenai kepalanya. Dina terkejut dan berteriak karena benda bertekstur aneh itu menempel pada rambut panjangnya. Dina berusaha menyingkirkannya hingga ia ketahui bahwa benda itu adalah gumpalan sarang laba-laba yang jatuh dari langit-langit. Dina mendongak ke atas kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Ia sadar bahwa rumah itu sangat kotor sekarang karena ia tak pernah merawatnya. Ia terlalu fokus pada jadwal kuliahnya yang padat tanpa memperhatikan kebersihan rumah.
Merasa bersalah karena tidak mengurus rumah dengan baik, Dina pun memutuskan untuk membersihkannya di hari itu. Dina pergi ke belakang mengambil beberapa alat kebersihan dari rak sapu. Saat tiba di depan kamar Andra, Dina sedikit ragu untuk masuk. Walaupun Andra sangat ramah padanya, terkadang Dina masih merasa canggung jika berinteraksi dengan Andra. Namun Dina juga berpikir niatnya baik, toh Andra tidak tinggal di rumah itu, jadi tidak ada salahnya ia masuk sebentar dan membersihkan kamar Andra agar tetap terawat.
Ketika pintu kamar terbuka, Dina takjub melihat kamar Andra yang tak kalah luas dengan kamarnya. Terdapat ranjang, lemari pakaian, meja dan kursi serta dua rak kecil pada sisi kanan dan kiri tempat tidur yang semuanya terbuat dari kayu berukiran rumit. Pada dindingnya terdapat wallpaper batik berwarna cream yang indah dipadukan dengan sedikit wallpaper merah tua pada sebagian dinding di dekat meja. Ia masuk dan memperhatikan satu per satu benda yang ada di sana. Terdapat lampu tidur tua di atas rak samping tempat tidur. Kemudian Dina beralih pada lemari tua di ujung kamar dekat jendela. Suara berderit keluar seketika pintu lemari itu terbuka, hanya terdapat beberapa pakaian di dalamnya dan menyisakan banyak bagian kosong. Melihat itu, Dina menutup lemarinya kembali dan pergi berbalik ke arah meja di sisi lain.
Di atas meja terdapat lampu belajar dan beberapa buku tebal berbahasa asing yang tidak Dina mengerti, hanya satu buku berbahasa Indonesia yang berjudul "Mengenal Diri Lebih Daripada Orang Lain". Dina sedikit mendongak memperhatikan bagian dinding yang ditempeli wallpaper merah. Sebuah rak menempel pada dinding merah itu. Beberapa benda yang tampak seperti hiasan tertata rapi di atasnya. Namun, sebuah pigura kecil menarik perhatiannya. Di dalam pigura itu terdapat lukisan sebuah bangunan aneh berbentuk seperti rumah bertingkat yang sudah reot di tengah bukit dan dikelilingi oleh burung-burung mengitari atap rumah. Dina mengambilnya untuk memperhatikan lukisan itu dengan lebih jelas.
"Ini lukisan apa foto sih? Kok kayak asli banget," pikir Dina.
Ia duduk di kursi sambil terus memperhatikan lukisan itu memastikan apakah itu benar lukisan karena detailnya sangat mulus seperti foto, namun pemandangannya tampak tak nyata bahkan lebih terlihat seperti ilustrasi dalam dongeng. Menyadari ia terlalu lama termenung memperhatikan lukisan itu, ia pun beranjak dan meletakkan lukisan itu kembali ke tempatnya. Dina mengedarkan pandangan sekali lagi mengagumi mewahnya interior klasik kamar itu sebelum akhirnya mulai membersihkannya.
Usai membersihkan seluruh bagian rumah, Dina mandi dan bersiap keluar untuk membeli makanan. Beruntungnya lokasi perumahan itu strategis dekat dengan jalan besar. Di sepanjang jalan banyak penjual makanan yang buka dari pagi hingga malam, sehingga kapan pun Dina merasa lapar ia bisa membeli makanan hanya dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan Dina mencium aroma yang menggugah selera dari seberang jalan. Ia pun menoleh, tampak asap hangat keluar dari sebuah gerobak mie ayam dengan cat biru tua. Melihat itu perutnya berbunyi makin keras seakan memberi isyarat untuk membeli mie ayam itu juga.
Sesaat kemudian Dina bergegas menyeberang jalan menuju warung mie ayam itu. Melihat kondisi warung yang tidak begitu ramai sehingga ia memutuskan untuk makan di tempat. Ia memilih tempat duduk di paling ujung agar tidak bertatap mata dengan orang lain. Beberapa saat berlalu si penjual memberikan semangkuk mie ayam kepada Dina dengan ramah. Namun saat hendak meracik kuah mie ayam, ia tak melihat kecap di atas mejanya. Ia menoleh ke meja lain dan menemukan sebuah botol kecap di dekat seorang gadis berambut panjang yang sedang asyik mengobrol dengan penjual mie ayam.
Dina berjalan mendekati meja gadis itu dan menyapa dengan sopan, "Permisi Kak, saya boleh ambil kecapnya?"
"Oh iya silahkan," gadis itu mendongak lalu menyipitkan matanya, "Sebentar, kamu anak manajemen angkatan 2012 Universitas Cendekia kan?"
Dina sedikit terkejut mendengar pertanyaan gadis itu. Ia bingung bagaimana bisa perempuan itu tahu nama kampus dan jurusannya padahal ia merasa tak pernah bertemu dengannya.
"Aku pernah lihat kamu waktu ospek, kamu anak kelompok yang kemarin dihukum joget pake lagu Berondong Tua kan?" gadis itu meneruskan pertanyaannya dengan semangat.
Si penjual tampak menahan tawa mendengarkan pertanyaan gadis itu. Dina tertunduk menahan malu. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sedangkan si gadis terus menunggu jawaban dengan matanya yang kian membulat.