The Perpetual Chronicle: Fusion-Aleph

Oleh: Faristama Aldrich

Blurb

Masih segar di ingatanku tatkala perang itu meletus sepuluh tahun lalu.

13 Maret 2040 adalah hari yang begitu mencekam bagi seluruh manusia di muka bumi. Perang berskala besar akibat konstelasi pertikaian yang telah terjadi dua dekade belakangan akhirnya pecah.

Blok Barat dan Blok Timur saling menyerang dengan kekuatan penuh.

Segala yang terjadi telah memberikan banyak dampak lingkungan dan juga korban jiwa. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak bisa berbuat banyak. Seruan untuk mengungsi sudah terlambat saat kedua belah pihak saling mengaktifkan persenjataan terakhir mereka.

Senjata termonuklir itu adalah bom hidrogen.

Fusion-Aleph, itu yang kutahu dari berita sebelum listrik dan internet mati seketika.

Keputusanku untuk meninggalkan Ibu Kota Indonesia ternyata membuahkan hasil. Jauh sebelum peperangan terjadi aku sekeluarga telah membangun sebuah kompleks perumahan, pertahanan, dan penelitian yang mungkin berguna. Meskipun usahaku begitu maju di seluruh kota, tetapi tiada sekali pun niatan untuk kembali.

Segala elegi itu makin menjadi tatkala kecelakaan yang merenggut orang yang paling kucintai terjadi. Ia pergi bersama dengan hilangnya lubang cacing yang dibuat bersama Aluna, Alexa, dan Alena; ketiga anak perempuanku.

Aku sudah hampir kehilangan semangat saat perang mulai mencapai Indonesia. Pemimpin negeri ini dihabisi oleh pasukan sekutu, meninggalkan Indonesia dalam kondisi kekosongan pemerintahan.

Kekacauan, kerusuhan, kriminal, dan pembunuhan terjadi di setiap provinsi yang menginginkan kemerdekaan. Namun, tanpa kemampuan finansial dan kepemimpinan hanya membuat mereka makin terpuruk.

Setelah perang menghabisi hampir seluruh penduduk Indonesia, aku akhirnya keluar dari persembunyian, memberikan seluruh harta dan tenaga untuk membangun lagi sebuah negara. Besar harapan bahwa ini adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menjaga perdamaian dunia.

Bumi sudah menjadi tanah buangan. Debu radiasi telah menutupi seluruh cakrawala dan memberikan bencana kelaparan tak berujung. Lebih dari separuh penduduknya hilang bersama dengan ledakan yang selalu terngiang di kepalaku.

Kini, aku hanya bisa berharap bahwa segalanya akan baik-baik saja. Setidaknya untuk dua-tiga abad ke depan.

Aku adalah sang IMPERATRIX pertama bagi bumi.

Lihat selengkapnya