Admaspheria, Jumat 1 Juli 2050
Hela napas terasa begitu berat saat menyadari bahwa segalanya harus segera dimulai. Ini adalah awalan baru yang telah lama diinginkan, sebuah negara baru yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Masih belum dapat terlupakan dari ingatan, tatkala desingan peluru kendali itu terus menghujam bumi pertiwi dua dekade ke belakang.
Ledakan demi ledakan terus terjadi menghabiskan dan membakar sebagian besar negeri tercinta tanpa ampun. Tiada yang bisa diperbuat selain berlindung dan menyelamatkan diri.
Akankah segalanya akan lebih baik di bawah kepemimpinanku?
Tidak ada seorang pun yang tahu, apakah negara yang dibangun akan menjadi oasis di tengah gurun atau malah sebaliknya. Segalanya sudah hancur karena perang bom hidrogen yang tidak pernah disangka akhirnya akan terjadi.
Aku sudah berjuang dalam sepuluh tahun terakhir demi kemanusiaan. Segalanya yang telah diraih akhirnya kubuang demi membangun kembali peradaban manusia. Hanya diri ini dan ketiga anak perempuanku yang selalu setia menemani sejak saat itu.
“Mama, sudah jam sembilan, ayo kita mulai,” ajak Alexa, anak keduaku yang berusia 29 tahun.
“Iya, sayang,” jawabku lalu menoleh ke arah anak perempuan yang begitu cantik dengan seragam barunya.
Aku akan memulai sebuah pengumuman baru, pendirian Negara Monarki Admaspheria. Nama itu diambil dari wasiat suamiku. Ia menghilang bersama dengan fenomena aneh yang terjadi ketika kami menciptakan sebuah lubang cacing di laboratorium.
Meskipun begitu, ia meninggalkan begitu banyak harta yang berguna untuk membantu membangun kembali peradaban, sesuai apa yang diwasiatkan. Aku juga tidak pernah memikirkan apa pun selain bagaimana Indonesia bisa kembali dipulihkan.
Namun, segala upaya menemui jalan buntu tatkala semua politisi dihabisi oleh pasukan sekutu. Indonesia berada di kondisi kritis, pemimpin negara sudah tidak ada lagi. Kekosongan pemerintahan membuat seluruh provinsi ingin memerdekakan diri sendiri setelah perang berakhir dan membentuk federasi.
Tiap-tiap orang ingin menguasai wilayah dengan logistik seadanya. Kerusuhan, penjarahan, dan kejahatan seolah-olah menjadi makanan sehari-hari. Tiada ada hari tanpa laporan kriminal yang tiba di indra, sehingga membuatku tergerak untuk menentukan langkah ke depannya. Mereka selalu meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja ke depannya.
“Alexa,” panggilku, “apa kakak dan adikmu juga sudah bersiap?”
Ia mengangguk. “Tentu, Ma. Sekarang saatnya Mama memulai ini dari awal.”
Kuhela napas seraya memejamkan mata, menikmati sejuknya angin laut yang menerpa kulit. Aroma air yang bercampur pasir seolah-olah menjadi teman setia dalam tiga dekade terakhir. Bahkan, tidak pernah sedikitpun aku menyangka akan tinggal di tempat seperti ini sejak dahulu.
“Mama, semua orang sudah menunggumu,” panggil Aluna, anak pertamaku.
“Iya, sayang. Mama hanya ingin mengenang sesuatu tentang Papa.” Aku lalu melangkah, menyusul Aluna dan Alexa yang sudah menunggu di luar.