Admaspheria, Jumat 1 Juli 2050
“Ini dari Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru?”
Ia mengangguk. “Benar, sebagian besar ada di Asia Tenggara.”
Kuhela napas, menyadari betapa negara barat mulai meninggalkan Australia dan Selandia baru sejak perang meletus. Kedua negara itu tidak mendapatkan perhatian sama sekali hingga banyak dari warganya mati kelaparan.
“Ma, tampaknya Selandia Baru bisa menjadi Ibu Kota baru untuk negara ini,” saran Alana lalu duduk di sebelahku.
Aku mengangguk. “Dua dekade, itu adalah waktu kita untuk menguasai ini semua lalu pergi.”
“Pergi? Ke mana?” tanya Aluna keheranan.
“Kau lupa, dua dekade lagi usia Mama 80 tahun, apa kata orang apabila mereka tahu bahwa kita tidak menua?”
Alana dan Aluna saling berpandangan lalu menatapku dengan nanar. Wajah mereka yang begitu mirip denganku seolah-olah memberitahukan segalanya bahwa mereka juga memiliki anugerah serupa.
“Lalu, ke mana Mama hendak pergi setelah ini?” tanya Alana pelan.
“Luar angkasa, membangun koloni di planet baru, lalu tinggal di sana. Sepertinya aku harus membuat wasiat kepada kalian untuk mengikuti jejak ini.”
Aku menatap ke arah mesin yang kuletakkan di pojok ruangan ini.
Sekali lagi aku memeriksa seluruh raga hanya untuk mendapatkan bahwa data yang tampil adalah untuk manusia berusia 16 tahun, benar-benar sama ketika aku masih duduk di kelas XII SMA empat dekade lalu.
Hal yang sama terjadi kepada anak-anakku. Usia biologis mereka tidak sesuai dengan umur selnya, hal itu terjadi setelah peristiwa kecelakaan yang terjadi di laboratorium dua tahun setelah perang pecah.
“Ma,” panggil Alexa, “tidak ada yang mengenal kita, kan?”
Aku menggeleng. “Selain para warga yang datang hari ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa kita.”
“Aku ada ide,” ujar Alana lalu berjalan ke sudut lain kamar dan mulai berkreasi dengan pakaian berwarna hijau muda dengan rok sepan hijau tua. “Bagaimana kalau kita menyamar menjadi anak sekolah untuk memastikan pendidikan di negara ini berjalan baik?”