Admaspheria, Sabtu 2 Juli 2050
Mereka mengatakan aku adalah phantasma domina, dalam Bahasa Latin artinya adalah wanita hantu. Aku tidak keberatan dengan julukan itu, karena memang itu adalah salah satu tujuan hidup sejak dahulu.
Desmond tidak henti-hentinya berbagi cerita, aku tidak mengerti mengapa ia begitu gigih melakukan ini. Namun, aku melihat ada harapan yang begitu nyata dari sorotnya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, tetapi tidak sedikit pun membuatku mampu mengalihkan hati ini walaupun sesaat.
Tiga jam berlalu, kami akhirnya tiba di Resor Revaria. Salah satu tempat terjauh dari Ibukota Admaspheria, berada di paling utara negara ini. Wilayah ini tampak tidak terdampak oleh perang pada awalnya, karena pegunungan yang mengelilingi wilayah ini seolah-olah menutupi apa yang terjadi sebenarnya.
Namun, di balik itu semua pernah ada perang darat besar terjadi. Saat Tentara Pembebasan Rakyat Cina Palagan Barat yang bermarkas di Chengdu, harus melawan keganasan Tentara Inggris yang dikerahkan melalui perbatasan India dengan memanfaatkan celah Pegunungan Himalaya.
Perang besar terjadi bertahun-tahun. Tibet juga ikut membantu tentara sekutu yang membangun markas di sana, menggempur Cina tanpa ampun dari segala penjuru. Negara poros yang terdiri dari Cina, Rusia, dan beberapa negara pecahan Uni Sovyet harus bertempur habis-habisan.
Segalanya mulai tidak terkendali saat Amerika Serikat mulai mengirimkan hulu ledak bom hidrogen, menghujani masyarakat sipil tak bersalah di Volgograd dan Saint Petersburg. Kedua bom itu menandai masa kelam perdamaian dunia.
“Elya, ayo turun,” ajak Desmond seraya mengulurkan tangannya.
Aku menggeleng, melewatinya dengan tenang dan turun dari helikopter ini. Tak kusangka, masyarakat tengah berkumpul di tenda-tenda pengungsian yang terlihat begitu penuh sesak.
Beberapa dari pasukan Ventus Imperias Grandehug tampak begitu sabar melayani kebutuhan para masyarakat terdampak perang. Bahkan beberapa dari mereka berjaga dengan senjata lengkap, melindungi seluruh masyarakat dari ancaman yang mungkin akan datang dari para pemberontak.
Aku memperhatikan sekeliling, memejamkan mata seraya mencoba mendengar suara alam yang menelisik di indra. Setidaknya saat ini kami dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin pasukan tersebut terpaksa mundur karena datangnya bantuan militer dari Admaspheria.
“Selamat datang di Resor Revaria,” ucap salah seorang perwira dengan begitu ramah. “Perkenalkan, aku Mayor Farid Haryadi, pemimpin operasi restrukturisasi dan pengamanan Resor Revaria.”
Aku menatap lelaki paruh baya yang tampak begitu bersahaja. “Terima kasih telah menyambut kami, Mayor Haryadi.”
“Senang ada bantuan akademis datang dari Ibukota untuk membantu masyarakat di sini. Terlebih kami baru membangun sekolah sementara yang berada tidak jauh dari sini.” Lelaki itu menunjuk ke sebuah bagunan semi permanen berwarna putih yang terletak berseberangan dari kami mendarat.
“Suatu kehormatan bagiku berada di sini, Mayor.”
Semua mata tampak menatap begitu takjub mendapatku berada di sini.
Bagaimana tidak, aku adalah perempuan sendiri di tengah laki-laki yang saat ini mulai membangun kembali kota sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Ventus Imperias Grandehug. Aku hampir tidak melihat seorang pun wanita. Bahkan beberapa dari mereka tampak menghentikan kegiatan seraya menatapku dengan mata yang berbeda.