The Perpetual Chronicle: Fusion-Null

Faristama Aldrich
Chapter #3

Secercah Rasa di Antara Dia (2)

Rayseans, Rabu 22 Agustus 2306


Sang Sol mulai merangkak turun, meskipun cakrawala tetap gelap seperti dua-tiga-jam yang lalu. Namun, aku bisa merasakan senja telah tiba, meskipun tanpa melihat semburatnya saat ini. Aku masih bergeming, memandang ke arah langit yang begitu gelap dari tempat raga ini berada, mencoba untuk mencerna segalanya tentang Sang Gaia.

Bencana alam terjadi di mana-mana hampir di seluruh pelosok bumi. Berita duka tentang hilangnya jiwa-jiwa tak berdosa menghiasi laman-laman situs portal berita dunia. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi, tetapi tidak banyak orang tahu tentang sebenarnya.

Aku pun hanya bisa melihat kumolonimbus itu terus menggagahi bumi, mengguyur tanpa ampun dengan segenap muatan tiada tertahankan. Terlebih akhir-akhir ini sinyal ponsel juga menjadi aneh, terkadang tersambung tetapi lebih sering tidak. Ramai sekali publik membicarakan akhir dari dunia yang mungkin saja terjadi, sesuai prediksi para ahli dari SEMESTA Divisi 10.

“Kau tidak pulang?” tanya suara itu sedikit mengejutkan. Entah mengapa gadis bernama Freia itu masih berada di sebelahku.

“Entahlah,” sahutku sekenanya seraya mengangkat kedua bahu. “Terkadang aku menikmati kesendirian ini.”

“Ehm.” Freia berdehem, seraya mendekatkan tubuhnya ke arahku. “Sepertinya kau terlalu lama menikmati kesendirianmu.”

Aku lalu menggelengkan kepala. “Terkadang sendiri memang lebih baik.”

“Klise,” ujarnya sambil tertawa. “Apakah tiada gadis yang memikat hatimu, walaupun hanya sedikit saja?”

Kuhela napas singkat. Jangan salah, aku masih normal. Hati ini masih memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Namun, mungkin aku terlalu jauh berangan. Entahlah, ada satu gadis yang pernah memikat ini, menjanjikan kecap indah semara namun tiada pernah terwujud

Masih terekam jelas di seluruh sel-sel kepalaku tatkala gadis itu melintas; menebarkan aroma yang mirip dengan anggrek; seketika membius seluruh indra dengan keindahan. Menorehkan wajah yang terus membekas begitu dalam di hati.

“Hei, apa yang kau pikirkan?” tanya gadis itu sejenak membuyarkan lamunanku.

“Ti-tidak,” ujarku seraya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Mari kita pulang.”

Aku memimpin langkah meninggalkan gedung sekolah yang sebenarnya sudah sepi tatkala masa sudah menujukkan hampir pukul setengah-tujuh-malam. Hanya ada beberapa siswa yang masih betah menanti redanya hujan. Freia mengikutiku, ia berjalan di sebelah seraya menyusuri lorong sebelum akhirnya turun melalui elevator di ujungnya.

Orang banyak menganggap Freia adalah kekasihku.

Padahal, kedekatanku dengannya sebatas sahabat. Mungkin lebih dekat ketimbang sahabat menurutku. Tidak dipungkiri, Kami memang sering menghabiskan akhir pekan bersama.

Terkadang kami hanya bercengkrama di pusat perbelanjaan pada akhir pekan. Bahkan tidak jarang kami menghabiskan waktu seharian di Feega. Namun, apabila aku sedang sibuk, ia selalu menyempatkan untuk berkunjung ke tempatku bekerja.

Kota asalku di Remeron, sekitar 2.800 Km dari Rayseans. Keputusan untuk pindah ke kota ini tentunya adalah karena alasan akademis. Setahun yang lalu, ketika pengumuman kelulusan dari SMP asal sudah didapatkan, pihak sekolah langsung meminta para siswa yang telah lulus untuk mengisi pilihan SMA.

Aku memilih Tytener Corsa sebagai pilihan, karena rasanya sulit menjangkau Weyfert Internasional dengan kemampuan akademis sekadarnya. Namun, besar harapan hati ini untuk menjadikan sekolah kebanggan itu sebagai tujuan akhir.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aku melamar pekerjaan sebagai pramusaji paruh waktu di salah satu rantai restoran ternama milik SEMESTA Divisi 8, Gendara. Gaji yang ditawarkan lebih dari cukup untuk membayar akomodasi dan kebutuhan sehari-hari. Jam kerja yang diberikan juga termasuk ringan mengingat besarnya bayaran yang diterima. Tidak heran, banyak orang ingin sekali bekerja dan menjadi pegawai tetap di SEMESTA divisi manapun.

“Kau benar-benar sedang tidak ada pekerjaan kan?” tanya Freia ketika menyusuri lorong menuju halte bus di depan kami.

Sungguh ucapannya membuyarkan sedikit lamunanku barusan. “Kebetulan ini adalah hari liburku.”

“Kau masih ingat kan apa yang kuucapkan tadi siang?”

Kuhela napas, seraya mengangguk. “Baiklah, di mana aku harus menemuinya?”

Lihat selengkapnya