Rayseans, Rabu 22 Agustus 2306
Ia serius dengan perkataannya; ia tidak meneruskan perjalanan pulang ke apartemennya yang selisih dua stasiun dari tempat kami turun. Aku tahu gadis ini kelelahan karena menunggu barusan. Namun, apa hal ini dibenarkan, membawa seorang gadis ke apartemen laki-laki?
“Kamarmu rapi,” ujarnya memujiku, di atas sorot matanya yang sudah semakin sayu.
“Terima kasih,” ujarku seraya menutup pintu apartemen ini. “Sudah hampir tengah malam, segeralah mandi.”
Ia memandangku dengan wajah yang merah. “Janji kau tidak akan mengintip?”
Aku mengangguk pelan. “Aku akan keluar selama kau mandi.”
Kubalik tubuh ini untuk memberikannya waktu sendiri di kamar. Namun, jemari lembutnya menarik pergelangan tanganku. “Tidak apa, aku hanya bercanda.”
“Ma-maksudmu?”
Ia lalu tersenyum dengan wajah yang begitu merah. “Aku tidak ingin kau berada jauh dariku untuk saat-saat ini, bisakah?”
Kutatap lekat-lekat gadis itu. “Apa yang sebenarnya terjadi, Frei? Aku tidak pernah mendapati dirimu seperti ini sebelumnya. Katakanlah sesuatu.”
Ia masih menatapku, air wajahnya begitu berbeda. Tidak seperti Freia biasa kukenal. Ia mendadak aneh sejak siang ini. Mungkin ada hal yang tidak ingin ia ceritakan. Namun, ia tidak ingin aku mendengar alasan yang sebenarnya.
Terlebih ia memilih untuk menunggu di stasiun ketimbang pulang ke apartemennya.
“Bisakah?” Ia menanyakan hal yang sama. “Untuk tetap dekat denganku?”
Aku masih menatapnya dengan penuh tanya, menyeruak seruan yang begitu kencang di kepala tentang apa sebenarnya isi kepalanya saat ini. Sungguh semua ini benar-benar menguras energiku.
Kutarik tangannya pelan. “Jujurlah kepadaku, apa yang membuatmu begitu gusar?”
Ia membuang wajahnya, bukan seperti Freia yang biasanya. “Kiara.”
Deg!
Mengapa ia menyebut nama Kiara?
Bukankah ia yang mengenalkan diriku dengannya?
“Mengapa?” tanyaku pelan, “bukankah kau yang memaksaku unutk menemuinya barusan?
“Bahkan aku tidak pernah tahu kalau kau juga berasal dari Remeron. Kau tidak pernah bercerita apa pun tentang dirimu, aku bahkan tidak pernah terusik dengan itu semua.”
Ia lalu menatapku, air terlihat menggenang di kedua mata cokelatnya. “Justru karena itu, aku takut kau akan lebih lebih banyak waktu kepadanya, ketimbang diriku.
“Aku bahkan tidak pernah tahu bahwa kalian pernah bertemu sebelumnya.
“Aku tidak ingin kau meninggalkanku karena pasti kau akan lebih memilihnya ketimbang diriku.”
Aku lalu tersenyum. “Kau adalah sahabatku, tidak mungkin aku meninggalkanmu, jangan khawatir.”
“Janji?” tanyanya seraya menjulurkan tangan kanannya.
“Adrian Rigera berjanji kepada Freia Karenina untuk tetap bersahabat.”
Ia tersenyum, tetapi masih saja terlihat pahit.