Rayseans, Rabu 22 Agustus 2306
Kilatan singkat masih menghiasi langit Rayseans. Sesekali gemuruh yang menggetarkan jendela terdistorsi meskipun tanpa sebutir air langit tumpah ke pangkuan sang Gaia. Gadis itu masih tenggelam dalam lelapnya di balik selimut tatkala mata ini sudah terjaga. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, aku harus bergegas agar tidak terlambat datang ke sekolah. Hujan sungguh membuat sendi-sendi tubuh terasa begitu lemah untuk digerakkan.
Malas rasanya sekadar melangkahkan kaki ke kamar mandi menyadari cuaca yang masih saja begitu mendukungk untuk terus terlelap; seperti Freia di balik selimut itu. Kuhela napas beberapa kali seraya mulai untuk mengucurkan air hangat dari pancuran yang langsung membasahi tubuh.
Lagi-lagi imaji tentang gadis itu menyeruak, apa yang sesungguhnya terjadi dengan Freia?
Aku tahu ada sesuatu yang terjadi kepadanya, dan ini adalah hal yang serius. Bukan hanya sekadar masalah Kiara, setidaknya itu menurutku. Namun, sejenak hati ini berpikir, terkadang ia selalu mengutaskan senyum yang terlihat pahit. Seolah ada begitu banyak beban yang dipikulnya hingga saat ini.
Apa yang kupikirkan?
Sudahlah, tidak habis apabila aku terus memikirkan tentangnya. Lebih baik bergegas dan membuat sarapan sebelum akhirnya berangkat ke sekolah.
Sejenal kulihat apa yang tersisa di sepen; tepung terigu, telur, gula, susu, madu, baking powder, dan bubuk vanila. Mungkin panekuk dengan lelehan mentega dan telur mata sapi cukup untuk pagi ini.
Ia masih bergeming, tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Mungkin karena cuaca yang begitu syahdu membuatnya enggan untuk membuka mata. Atau bisa saja karena peristiwa semalam. Aku pun merasa demikian saat ini.
“Frei,” panggilnya seraya menggoyangkan sedikit bahunya. “Bangunlah, ini sudah pagi. Kau harus ke sekolah.”
“Hum,” gumamnya pelan lalu membuka mata. “Su-sudah jam berapa ini?”
“Lima-empat-puluh-lima,” ujarku sejurus membaca deretan LED dari jam digital yang berada tiada jauh dari perimeter. “Lekas bangun aku sudah mempersiapkan sarapan untukmu.”
Ia menggeleng. “Aku sedang kurang sehat, bisakah kau menitipkan surat izin kepada sekolah?”
Tunggu sebentar, Freia?
“Hei, kau tidak biasanya seperti ini, ada apa sebenarnya?”
Ia menghela napas lalu tersenyum. “Aku sama sepertimu Dri, aku juga manusia dan bisa jatuh sakit. Mungkin karena aku makan terlalu larut semalam, tubuhku tidak mampu menahannya.”