Rayseans, Rabu 22 Agustus 2306
Hari berlalu begitu saja, tanpa ada Freia di kursinya. Setelah air langit kembali tercurah seharian, kutinggalkan gedung sekolah ini untuk menuju Stasiun Regenpile dengan bus. Tujuanku sore ini adalah Gendara, terletak di Resor Clavinore.
Tepat pukul 17.40, aku sudah berada di ruangan pegawai. Sebelum kru pada giliran kerja terakhir turun ke restoran, kami diberikan pengarahan rutin singkat. Namun, kali ini berbeda. Salah satu demi chef yang biasa bertugas di departemen pasta tidak masuk karena sakit.
Kepala restoran menunjukku sebagai pengganti. Sementara mereka menugaskan Heivn Evallion yang merupakan pekerja paruh waktu di bagian housekeeping berperan di posisiku.
Ia adalah murid Weyfert, teman sekelas Annastasia. Sering kali kami berbincang terkait pekerjaan masing-masing. Namun, nasib pilu begitu merundungnya karena sedari kecil telah kehilangan kedua orangtuanya.
“Hei,” sapa gadis itu seraya memasang seragam restoran ini.
“Maaf merepotkanmu lagi,” ujarku seraya mengenakan seragam koki berwarna abu-abu yang diperuntukkan bagi staf bantuan.
“Tenang saja,” ujarnya lalu berjalan menuju ke depanku. “Menjadi pramusaji jauh lebih menyenangkan ketimbang membersihkan kamar.”
“Benarkah?” tanyaku seraya memperbaiki posisi topi ini. “Bukankah lebih banyak bersantai di pekerjaan itu?”
Ia menggeleng cepat. “Tentu saja lebih menyenangkan menjadi pramusaji, karena bertemu banyak orang.”
Sejenak kuhela napas. Sungguh penasaran itu masih saja merundung terkait lelaki berambut perak yang semalam membuat Annastasia menangis.
“Hum,” gumamku, “apa kau tahu tentang laki-laki berambut perak yang bersekolah di Weyfert?”
Ia tampak sedikit terhentak lalu memandang dengan wajah tidak percaya. “Da-dari mana kau mengenalnya?”
Aku menggeleng ringan. “Kemarin aku melihatnya, ketika ia pulang ke Stasiun Authepile. Ia membuat Annastasia menangis semalam.”
Ia memajukan tubuhnya. “Be-benarkah?”
Aku mengangguk. “Benar, aku tahu pasti ada yang salah antara dirinya dan lelaki berambut perak itu.”
Ia tampak mengepalkan tangannya dengan wajah penuh amarah. “Ia membuat Annastasia menangis seharian hari ini. Laki-laki itu memang benar-benar keterlaluan!”
Kutatap gadis berambut pendek itu dengan keheranan. Ia benar-benar kesal kepada lelaki yang memang menyeramkan itu. Entahlah, bara itu begitu terlihat di sorot matanya.
“Sudah-sudah, lebih baik kita bekerja.”
*****
Memasak adalah salah satu kegemaran yang biasa dilakukan ketika jenuh. Bagiku meracik berbagai makanan merupakan sebuah karya seni. Satu kepuasan apabila hidangan yang dimasak mendapatkan apresiasi, terlebih aku sudah terbiasa menjadi tenaga bantuan untuk departemen pasta apabila pesanan membeludak.
Beruntung hari ini bukanlah akhir pekan. Permintaan pesanan pasta tidak begitu banyak, meskipun tidak juga bisa dikatakan sedikit. Empat-puluh-persen menu makanan yand ditawarkan adalah pasta, itulah mengapa kehilangan satu demi chef bisa membuat segalanya berantakan.
Tepat ketika waktu sudah menunjukkan pukul 21.45, pesanan terakhir masuk, kali ini permintaannya cukup spesifik. Agak aneh saat membaca permintaan pelanggan terakhir, seolah ia sudah terbiasa memasak pasta sendiri.
“Nampaknya kau memiliki kekasih baru,” ujar Rammio, chef de partie untuk lini menu utama.
“Eh, kekasih?” tanyaku keheranan.
“Jangan bergurau, lihatlah seseorang dengan pakaian begitu anggun tengah duduk di ujung jendela. Ia bahkan bertanya beberapa kali tentang dirimu,” ujar Rammio lagi.
“Terakhir kau kemari mengajak gadis berambut pendek, sekarang ada seorang gadis lagi berambut panjang, sungguh pesonamu luar biasa Adrian,” ujar Griffin, demi chef untuk masakan daging unggas.