Rayseans, Rabu 22 Agustus 2306
Pukul 23.15, setidaknya itu yang tertera di layar ponsel ini, tatkala kereta tiba di Stasiun Authepile. Sesungguhnya, Kiara memaksa untuk pulang sendiri. Namun, tidak elok rasanya membiarkan gadis pulang sendiri di masa selarut ini.
Perjalanan dari pemberhentian kereta sampai apartemen benar-benar tidak terasa. Dinginnya malam di Rayseans terasa begitu hangat bersama dengan obrolan ringan yang wajar, tetapi menyenangkan.
Hingga langkah ini terhenti di depan apartemen Kiara.
Sejenak kami saling terdiam setelah canda itu teruntai barusan. Entah dari mana asalnya, tetapi nyaliku seolah terkumpul hingga memberanikan diri untuk menggenggam kedua tangannya.
Wajahnya merona, begitu kentara walau hanya diterpa cahaya lampu taman berwarna kuning. Mata cokelatnya terlihat berbinar bersamaan dengan seutas senyum yang terlihat begitu menenangkan. Namun, genggaman itu tidak berlangsung lama. Sejurus karena salah tingkah, kulepas pagutan itu lalu memundurkan tubuh beberapa langkah.
“Terima kasih sudah mengantarku ke sini,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah. “Terima kasih juga untuk pastanya, masaknmu enak.”
Aku mengangguk pelan. “Sebuah kehormatan bagiku bisa menyuguhkan makanan untukmu.”
“Bolehkah aku berkunjung lagi besok?”
“Tentu saja, namun besok aku pasti kembali menjadi pramusaji, sesuai tugas pokok dan fungsi yang tertulis di perjanjian,” ujarku seraya tertawa kecil.
Sejurus ia menoleh ke arah kursi taman yang terletak tidak jauh dari perimeternya. Kali ini ia yang menggenggam jemari ini begitu ringan. Sontak saja wajahku terasa begitu panas tatkala ia melakukan itu. Sungguh romansa yang teralun syahdu ini semakin menenggelamkan dalam samudera semara.
Tiada habisnya pujian ini teralun atas keindahannya. Aku bisa melihat seutas harap meskipun implisit tersirat di dalam sorotnya. Entahlah, aku tidak berani mengatakan segala rasa itu. Terlebih saat tubuh ini berada persis di sebelahnya, segala imaji itu langsung mengelana.
Sekali lagi, hati ini terlalu gerun untuk sekadar menyatakan gugusan semara yang membucah di dalam dada. Dinginnya angin malam di Rayseans seolah menambah desakan untuk meneriakan seluruh frasa tentang cinta untuk sang terkasih. Namun, apa daya, kami baru baku cakap sekitar satu rotasi bumi yang lalu. Aku tidak ingin Kiara berpikir yang tidak semestinya tentang ini semua.
Hening ini kembali membungkan lisan kami bersama dengan canggung yang merundung seluruh keberanian. Entahlah, aku dan Kiara hanya bisa saling pandang sebelum akhirnya ia tampak menghela napas.
“Lain kali, aku ingin dimasakkan olehmu secara pribadi, bisa kah?” tanya Kiara seraya menatapku lekat.
Aku mengangguk pelan. “Tentu saja, suatu kehormatan bagiku.”
“Janji?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum begitu menawan bersamaan dengan rambut yang beterbangan di hantam embusan angin. Sejurus aroma anggrek yang khas langsung menelusup ke indra.
“Tentu saja, aku berjanji,” ujarku seraya menjabat tangan yang disambut oleh senyumannya yang begitu memesona.
“Hum,” gumamnya, “bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?”