Rayseans, Kamis 23 Agustus 2306
“Aku pulang,” ujarku seraya masuk ke dalam apartemen ini.
Freia nampak tersenyum saat tubuh ini memasuki daun pintu yang langsung tertutup. Sejurus ketika melirik ke atas meja makan, terdapat masakan yang tampak sudah matang sedari tadi.
“Kau sudah makan?” tanyanya dengan mata yang sedikit merah.
Entahlah, perasaan apa yang terlintas tatkala melihat gadis itu tersenyum dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Tampaknya ia sudah menunggu sejak tadi, memasakkan makanan untuk makan malam yang saat ini pasti sudah dingin.
Sungguh tidak pernah rasanya dada ini begitu sesak tatkala melihat senyuman gadis yang telah menemani sejak pertama kali masuk SMA. Apakah ini karena permintaan Kiara yang begitu tiba-tiba barusan sehingga semuanya terasa berbeda?
Terhela napas seraya langkah ini terhenti tepat di depannya.
“Kau tidak perlu menungguku, Frei,” jawabku lalu tersenyum.
“Aku merasa tidak enak kalau tidak melakukan apa pun tatkala aku bermalam di sini.”
Aku menggeleng pelan. “Aku tidak memintamu untuk memasak makan malam, tapi karena kau sudah memasak ini, mari kita makan bersama.”
Terkembang senyum yang begitu indah dari bibir merah mudanya yang tidak seberapa tipis itu. Matanya bahkan berbinar tatkala kuambilkan beberapa potong daging ayam yang ditumisnya sederhana dengan paprika dan bawang.
“Sungguh, ini enak,” ujarku setelah memakan masakan yang sebenarnya sudah dingin ini.
“Be-benarkah?”
“Apakah kau biasa memasak di rumahmu?” tanyaku seraya menyuap lagi sepotong daging ayam yang berada di atas piring ini.
Ia mengangguk. “Ten-tentu saja, karena aku tinggal berdua dengan kakak laki-lakiku.”
Aku bahkan baru mendengarnya, bahwa ia memiliki seorang kakak laki-laki.
“Apakah ia juga masih bersekolah?” tanyaku seraya menyantap masakannya.
“Aku dan dirinya hanya berbeda satu tahun, saat ini ia bersekolah di Weyfert,” ujarnya seraya tersenyum.
“Jangan katakan, kau sedang bertengkar dengan kakakmu saat ini,” ujarku menebak mengapa ia memaksa untuk bermalam lagi di apartemenku.
Ia menggeleng pasti. “Ada hal yang lebih rumit ketimbang itu.”
“Ada sesuatu hal yang penting kah?” tanyaku semakin penasaran.
“Aku akan mendengar segala ceritamu,” ujarku lagi, “percayalah, bagiku kau lebih dari sekadar sahabat.”