Rayseans, Kamis 23 Agustus 2306
Lagi-lagi hari terasa sepi tanpa Freia di kursinya saat ini. Para siswa di kelas juga mempertanyakan ihwal gadis itu. Beberapa suara sumbang bahkan mengatakan ia sedang terlibat masalah besar.
Kuhela napas seraya memandang ke arah gelang yang diberikan Kiara kemarin. Sejurus beberapa teman dekatku langsung menyadari aku mengenakan gelang ini. Namun, tidak banyak dari mereka yang berani bertanya.
Gugusan kumulonimbus masih saja bertakhta di langit Rayseans. Hawa musim dingin makin terasa bersama dengan hujan yang berlangsung sejak tadi pagi. Kilatan demi kilatan terlihat begitu perkasa merobek cakrawala seraya dentuman keras menggelegar setelahnya.
Malas rasanya kaki ini melangkah untuk meninggalkan kelas, tetapi hari ini Kiara telah berjanji untuk datang kembali ke Gendara. Hanya itulah satu-satunya hal yang begitu membuatku bersemangat hari ini. Semoga Kiara benar-benar datang kembali ke Gendara malam ini.
*****
Hujan yang masih saja menguyur Rayseans terasa amat syahdu. Pengunjung di restoran ini pun terasa tidak seramai biasanya. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di sepen dan mendengar obrolan para staf lainnya.
Pertemuanku dengan Kiara kemarin seolah menjadi santapan hangat bagi mereka. Semua orang membandingkan Kiara dengan Freia, seolah keduanya sosok nirmala itu terlihat begitu memujiku.
Padahal bukan itu yang sebenarnya terjadi.
“Tampaknya hujan akhir-akhir ini makin tidak bisa diprediksi,” ujar Rammio.
“Kau benar,” ujarku seraya meletakkan nampan di atas meja stainless steel panjang ini. “Pengunjung hari ini benar-benar sepi.”
“Sudah dua pekan belakangan ini terasa begitu sepi memang,” sambung Griffin lalu melepaskan topi koki yang dikenakan.
“Apakah gadismu akan berkunjung lagi hari ini?” tanya Rammio.
Aku menggeleng. “Kemarin ia sudah berjanji datang kemari, tetapi melihat hujan sedemikian derasnya aku jadi sangsi.”
Sejurus aku lalu berjalan menuju loker untuk melihat ponsel. Tidak ada surel ataupun panggilan terlewat di sana. Dengan degup jantung yang begitu kencang, aku menarikan jari di atas gawai untuk bertanya ihwal kedatangannya malam ini.
Kuhela napas panjang seraya menunggu balasan surel apa pun setelah hampir sepuluh menit aku menunggu. Keringat mulai bercucuran di dahi seraya menanti sebuah jawaban atas tanya yang barusan terkirim.
Alih-alih balasan dari Kiara, sebuah surel dari Freia datang ke ponsel ini. Ia mengirimkan sebuah citra dirinya tengah duduk di sofa dekat jendela apartemen.
Seketika ada rasa begitu berbeda menggelora di hati dengan segenap kehangatannya. Ada untaian rindu yang membahana di dalam hati tentang gadis itu.
Sejenak rasa cemas akan menunggu Kiara sirna bersama dengan deretan imaji yang terputar cepat tentang Freia. Aku tahu ia menyimpan sesuatu tentang ini semua.
Kupejamkan mata sejenak seraya memikirkan frasa apa yang akan ditulis untuk membalas citra yang diberikannya. Sudah lama rasanya tidak mendapati gadis itu mengirimkan ini.
Tidak lama, sebuah panggilan dari Freia masuk.
“Adrian, kau suka foto yang kuberikan?” tanyanya dari seberang sana.
“Tentu saja,” ujarku sekenananya. “Frei, kau mau sesuatu untuk dibawa pulang?”