Rayseans, Jumat 24 Agustus 2306
Gugusan sirus yang menggantung di cakrawala seolah menjadi sebuah keajaiban setelah badai dahsyat melanda kota ini semalam. Lagi-lagi Freia masih bergeming di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
Apakah ia memiliki masalah dengan seseorang di sekolah?
Selama ini aku tidak pernah melihatnya bermasalah dengan orang lain. Gadis ini selalu saja berada di kelas dan hanya bercengkerama dengan teman-teman terdekatnya.
“Apa alasanmu hari ini, Freia?” tanyaku seraya duduk di tepi ranjang setelah selesai merapikan seragam.
“Entah,” jawabnya parau. “Aku sedang tidak ingin berada di sekolah saat ini.”
“Berikan alasanmu kepadaku, hanya itu yang kuinginkan darimu.”
Ia merenggangkan tubuhnya, seketika menebarkan harum kayu manis yang nyaman menelusup indra. Ini baru pertama kali aku bisa mengendus harum tubuh Freia karena selama ini ia selalu menutupi itu dengan parfum miliknya.
Bahkan harum itu benar-benar menempel di ranjangku kini.
“Ada hal buruk yang akan terjadi kepadaku apabila aku berada di sekolah.”
Deg!
Detak jantung ini tereskalasi begitu tajam mendengar frasa yang terlontar dari lisannya. Apakah segenting itu hingga dirinya tidak ingin berada di sekolah?
Aku berusaha mengingat semua kejadian hingga satu bulan ke belakang. Namun, tiada peristiwa apa pun yang sesuai dengan kata-kata gadis ini.
“Siapa yang mengancammu?” tanyaku serius.
Gadis itu membuang wajahnya, seolah ia tidak ingin aku tahu apa yang ada di benaknya kini. “A-andai aku tahu siapa yang mengirimkan ancaman itu.”
“Hei! Frei! Ini hal serius!” sentakku seraya menggenggam kedua bahunya, hingga tanpa sadar tubuhku berada di atasnya.
“Kau harus menghubungi Sequrior agar mereka bisa bertindak!”
Gadis itu menatap dengan wajah begitu merah. Sepasang bibir merah mudanya sedikit terbuka, mengembuskan napas terburu yang terasa begitu mengintimidasi.
“A-Adrian,” ujarnya lirih.
Aku terperanjat, menyadari betapa dekatnya wajahku dengannya tadi. Sungguh aku tidak memungkiri bahwa segenap hati ini menaruh cemas akan apa yang dikatakannya barusan. Kecurigaanku ternyata benar, ada sesuatu yang terjadi kepadanya.
“Ma-maaf,” ujarku seraya mengalihkan tubuh.
Namun, pergelangan tanganku ditahannya dengan erat. “Berjanjilah, kau tidak menceritakan ini kepada siapa pun.”
Aku tidak mengerti, mengapa dalam kondisi seperti ini ia malah menutup diri? Padahal ini semua terkait dengan keselamatan dirinya sendiri.
“Mengapa justru kau malah menutup diri?” tanyaku pelan, masih tidak memahami jalan pikirannya.
Ia mengeratkan genggamannya. “Aku hanya ingin di sini. Aku tidak ingin pergi ke sekolah. Aku hanya ingin bersamamu di sini.”
“Apakah ada alasan kuat?”
Ia melepas pagutan jemarinya. “Aku mendengar rumor tentang Guivart Centrin. Bahwa sebenarnya apartemen ini adalah salah satu tempat teraman di Rayseans.