Rayseans, Jumat 24 Agustus 2306
Sepanjang malam setelah pekerjaan ini selesai, perkataan Heivn tentang lelaki bernama Carl itu masih menyisakan tanya di kepala. Pasti ia juga memiliki hubungan dengan orang penting di negara ini. Ia bahkan bisa dengan mudah mencampakkan Annastasia di depan Bellegarde malam itu.
Hanya saja aku tidak pernah menyangka bahwa lelaki itu tinggal di apartemen yang sama. Aku bahkan baru menyadarinya tatkala ia turun bersama di elevator.
Sudahlah lebih baik aku berkonsentrasi di perjalanan pulang yang sudah cukup sepi ini.
Berulang kali tangan ini sibuk membuka ponsel hanya untuk memeriksa balasan surel yang ternyata tidak kunjung tiba. Kiara tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi.
Tidak mungkin juga rasanya menanyakan itu kepada Freia. Alhasil aku hanya bisa menduga-duga tentang apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Padahal esok adalah hari yang kutunggu-tunggu sejak pertemuan pertama kami.
“Adrian,” panggil Freia dengan lembut tatkala menyambutku di balik pintu apartemen.
Ia melakukan lagi hari ini, menantiku pulang di depan pintu. Menyambut dengan senyuman khas yang terlihat begitu memesona. Selama aku mengenalnya, tidak pernah sekalipun ia menampakkan indah itu.
“Akan kubuatkan makan malam untukmu,” ujarku seraya memimpin langkah untuk mandi terlebih dahulu.
“I-itu tidak perlu, aku sudah memasak malam ini.”
Wajahnya memerah diterpa oleh cahaya lampu kekuningan yang berpendar di seluruh apartemen ini. Sungguh, bersamanya beberapa hari belakangan membuatku begitu nyaman berada di sekitarnya. Selama ini aku tidak pernah berada bersama dengannya dalam waktu yang lama.
Mataku langsung terpaku ke atas meja makan. Di sana terjajar dengan rapi beberapa masakan yang tampak masih hangat dan juga dua piring yang sudah disiapkan untuk kami makan.
Sungguh, aku tertegun dengan apa yang dilakukan oleh gadis ini. Tatkala hati mulai menemukan tambatan yang telah dicari selama ini, Freia justru menampakkan sisi lain dari dirinya.
Sejenak aku meninggalkannya untuk membasuh tubuh.
Kubiarkan limpahan air hangat yang keluar dari pancuran ini membasuh tubuh. Lagi-lagi pikiran tentang Kiara bergejolak di dalam kepala. Gadis itu tidak kunjung memberikan kabar kepadaku, padahal esok adalah hari yang seharusnya membahagiakan.
Entah mengapa segalanya terasa begitu bias.
Ia yang meminta untuk datang ke Gendara, tetapi hingga detik ini tidak ada satu pun frasa diterima melalui alamat surelnya. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada dirinya?
Aku sama sekali tidak bisa menduganya.
“Adrian,” panggil Freia dari balik pintu kamar mandi.
“Ada apa?” tanyaku sedikit keheranan.
“A-apakah tidak apa-apa aku berdiri di balik pintu?”
Nadanya terdengar sedikit gemetar, aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Namun, ia tidak pernah menunjukkan ini sebelumnya.
“Ada apa sebenarnya?” tanyaku lagi seraya menutup keran.
“Kiara,” ujarnya dengan nada lebih gemetar.
Deg!
Seketika tubuhku terhentak bersama dengan degup jantung yang tereskalasi hebat. Mengapa tiba-tiba Freia menyebut nama Kiara di saat hati ini sangat gundah karena kabar yang tak kunjung datang?
“Ada apa dengan Kiara?” tanyaku dengan napas terburu.
“A-aku akan membantumu untuk mendapatkan hatinya.”