Rayseans, Sabtu 25 Agustus 2306
Aku tidak berani berbincang dengan Freia setelah apa yang terjadi semalam. Bahkan gadis itu tampak melarikan diri untuk tidak menyapaku. Padahal ini adalah hari Sabtu, aku pasti akan berada di rumah seharian.
Masih terngiang di kepala, apakah aku berlebihan saat mendekapnya semalam? Ataukah memang ada suatu hal yang masih ia sembunyikan dan enggan mengucapkannya kepadaku?
“Freia,” panggilku seraya mendekat ke arah pintu kamar mandi.
Tidak ada jawaban apa pun dari gadis yang saat ini masih berada di balik pintu kaca ini. Tampaknya ada hal yang begitu menahannya agar tidak lekas-lekas menemuiku.
“Aku sudah membuatkan sarapan untukmu, lekaslah disantap sebelum dingin.”
“I-iya,” jawabnya pelan.
Kuhela napas beberapa kali seraya memejamkan mata.
“Frei,” panggilku lagi. “Maafkan tentang semalam, aku tidak tahu harus melakukan apa kepadamu. Terlebih kau mengatakan itu begitu tiba-tiba.”
“Mengapa kau tidak bergegas? Bukankah kau ada janji ke Feega dengan Kiara pagi ini?”
Deg!
Dari mana Freia mengetahui tentang janjiku kepada Kiara?
Apakah mereka berdua saling berbaku pesan tanpa kuketahui?
“Kau pasti bertanya-tanya kan, bagaimana aku mengetahui tentang ini?”
Aku tidak bisa berkata apa-apa mendengar frasa yang terlontar lagi dari lisannya. Sungguh tidak ada pengetahuanku tetang bagaimana ia bisa mengetahui bahwa janji itu terikrar kepada Kiara.
Apakah ini yang menyebabkan Kiara menjauhiku?
“Kau benar, aku punya janji dengan Kiara untuk ke Feega hari ini. Namun, ia tidak membalas pesanku sama sekali.”
“Mengapa kau tidak jujur kepadanya tentang diriku?” tanyanya pelan, masih dengan nada yang sama. “Kau tahu, ia terkejut saat mengetahui aku berada di apartemenmu.”
Tidak ada frasa yang bisa kulontarkan untuk berdalih kepada Freia tentang ini semua. Terlebih Kiara sudah mengetahui bahwa aku mengajak gadis ini ke rumah.
Lututku terasa lemas seraya dengan kenyataan tentang ini semua yang terungkap dari perbincangan pagi ini dengan Freia. Gadis itu masih saja menyembunyikan suara isak yang sayup terdengar bersama dengan gemercik air.
“Kumohon jangan membenciku, Frei.”
“Apa gunanya membencimu?” tanyanya lirih dari dalam sana. “Aku tidak pernah sekali pun mampu melakukan itu.”
Segenap rasa bersalah itu akhirnya menenggelamkanku dalam sebuah elegi yang tak berujung. Aku bahkan masih belum mampu memahami, mengapa Freia bisa mengatakan frasa itu barusan. Hatiku makin terasa tidak karuan saja.
“Maafkan aku,” ujarku pelan.
“Ini bukan salahmu, Adrian.”
“Bukan seperti itu,” ujarku seraya menyadarkan tubuh di pintu ini. “Andai saja aku jujur kepadamu tentang Kiara, mungkin segalanya tidak akan menjadi seperti ini.”
Hening kembali merundung, hanya suara gemercik air yang terdengar dari balik pintu kamar mandi ini. Sungguh, makin lama aku makin tidak mampu menerima ini semua. Apa yang terjadi saat ini seolah terasa tidak nyata.
“Tidak perlu khawatir,” ujar Freia, “aku tidak akan mempermasalahkan itu. Hanya saja, aku merasa tidak enak apabila berada bersamamu di sini. Sementara Kiara memintamu untuk tidak dekat dengan diriku.
“Apakah aku merepotkanmu, Adrian?”
“Tidak, sama sekali tidak,” jawabku pasti. “Aku tidak mempermasalahkan kedatanganmu ke sini. Terlebih, aku merasa bisa membuatmu aman saat berada di sini.”
Lagi-lagi hening merundung indra, bersama dengan suara gemercik air yang terdengar makin mengintimidasi. Tidak pernah sekali pun dalam hidup aku merasakan ketidaknyamanan hati seperti ini.