The Perpetual Chronicle: Fusion-Null

Faristama Aldrich
Chapter #16

Detik yang Menanti (3)

Rayseans, Sabtu 25 Agustus 2306


Dua puluh menit berlalu, kita akhirnya tiba di Feega, sebuah taman bermain yang terletak di Distrik Reamnore, terletak di ujung utara Rayseans. Jelas ada yang berbeda dari senyum Kiara, terlihat lebih lepas dan juga menyenangkan dipandang lama-lama.

Dengan uang seribu Ayria yang ditinggalkan Adeline barusan, aku membeli tiket terusan untuk satu hari. Karena denominasi ini terbilang sangat besar di Admaspheria, maka pihak Feega meminta untuk memasukkan uang itu ke rekening pribadiku.

Sistem perbankan di negara ini begitu mudah dan tidak berbelit-belit. Hanya ada satu bank yang digunakan di negara ini, Bank Admaspheria. Ada dua fungsi yang dijalakan, sebagai bank sentral yang menerbitkan mata uang Ayria melalui supervisi Lembaga Keuangan dan Perbendaharaan Admaspheria; dan sebagai bank komersial.

Meskipun bank tersebut mengikuti konstitusi negara, tetapi pemiliknya adalah SEMESTA Divisi 9. Namun, dengan begitu banyak kemudahan yang bisa didapatkan bagi warga negara Admaspheria, yaitu integrasi sistem perbankan dengan Kartu Penduduk SEMESTA.

Seribu Ayria sama dengan 100 gram Emas, itu adalah nominal yang begitu spektakuler. Sungguh, rasa tidak nyaman atas pertanyaan siapa Carl dan Adeline merasa makin menyiksa. Akan tetapi, segalanya akhirnya hilang setelah melihat kehadiran Kiara di sisi.

Namun, angka 1.877 Ayria di rekening seolah menjadi kebahagiaan tersendiri. Akhirnya setelah lebih dari satu tahun bekerja, aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Bagaimanapun, aku harus tetap mengirimkan Ayah dan Ibu sebagian penghasilan yang diperoleh.

“Terima kasih telah mengajakku ke sini, Adrian,” ujar Kiara setelah kami menyelesaikan admisi.

“Justru aku yang berterima kasih. Aku tidak menyangka kau ada di depan kafe itu barusan.”

Ia tersenyum. “Aku teringat dengan janji kita untuk ke Feega hari ini. Sungguh aku tidak menyangka kau berada di sana dengan gadis yang begitu cantik.”

Aku menghela napas. “Ia adalah kakak kandung dari orang yang tinggal satu lantai di apartemenku.”

Ia mengangguk pelan. “Dia sempurna, kan?”

Kiara mengatakan frasa itu dengan nada yang berbeda dari biasanya.

“Ka-kau benar,” ujarku sekenanya seraya memimpin langkah menuju wahana yang paling dekat di perimeter.

Sejenak aku melupakan tentang Freia yang masih berada di kamar mandi sebelum aku memutuskan untuk keluar. Dengan sedikit cemas aku mengirimkan surel kepada gadis itu. Sungguh, tiba-tiba aku melupakan hangat dekapnya semalam dan lebih memilih menghabiskan akhir pekan dengan Kiara.

“Kau tampak sedang memikirkan sesuatu,” ujar Kiara seraya menatapku. “Apakah ada yang sedang menjadi pikiranmu?”

Aku menghela napas. “Tidak ada, tenang saja.”

Ia lalu tersenyum dan mengangguk.

Sejurus ia memimpin langkah untuk memulai hari di taman rekreasi seluas 400 hektare yang berdiri sejak sepuluh tahun lalu. Sungguh, segala tentang Freia tiba-tiba hilang begitu saja dari ingatan, seolah segala frasa yang terlontar kemarin hanya angin lalu bagiku.

*****

Lihat selengkapnya