Rayseans, Sabtu 25 Agustus 2306
Gadis itu menyunggingkan senyum, terlihat begitu alami.
Wajahnya yang diterpa cahaya kekuningan dari lampu di atasnya membuat kulitnya yang putih terlihat menyala. Terlebih pakaian berwarna biru gelap, senada dengan pakaianku, membuat tubuhnya terlihat begitu kontras.
“Ki-Kiara,” panggilku, masih bergeming di depan pintu kamar mandi ini.
“Apakah ada yang salah?” tanyanya seraya memiringkan kepala, membuatnya terlihat makin cantik.
Aku menggeleng. “Ti-tidak ada.”
Ia tersenyum lalu menatap dengan sorot yang terlihat begitu teduh. “Terima kasih untuk hari ini, aku sangat menikmatinya.”
“Aku juga berterima kasih, kau berkenan kuajak untuk ke Feega hari ini.”
Ia lalu menoleh ke arah jendela yang telah ditutup tirai. “Bagaimana kau akan pulang, Adrian?”
Kupejamkan mata seraya menghela napas. “Sepertinya hujan tidak akan reda dalam waktu singkat. Aku mungkin akan pulang dengan taksi.”
“Mengapa kau tidak menginap di sini?”
Sekujur tubuhku terasa begitu merinding bersamaan dengan tereskalasinya degup jantung secara spontan. Terlihat senyum yang berbeda terkembang dari bibir merah muda Kiara. Apakah ia memang menginginkanku untuk tetap berada di sini? Ataukah ia hanya melontarkan frasa penuh retorika semata?
Hening langsung mendekap kami.
Suara gemeretak air hujan, diembuskan angin dan menerpa jendela adalah alunan terindah yang menelusup ke indra. Wajah memerah Kiara setelah melontarkan frasa tersebut seolah menuturkan hikayat yang tersimpan di dalam relungnya.
Seraya degup jantung ini makin santer terasa menyesakkan dada, kupimpin langkah untuk menghampiri gadis itu. Aku duduk di seberangnya seraya menikmati keindahan yang dipancarkan oleh presensi gadis itu. Segalanya tentang Kiara begitu memesona, mengalihkan segenap dunia yang awalnya gelap menjadi penuh cahaya yang menyenangkan.
Segala yang terjadi hari ini benar-benar tidak pernah kuduga.
Jarak yang awalnya merenggang antara aku dan Kiara kini kembali terakselerasi. Aku tidak memungkiri, hujan yang membasahi Rayseans seolah menjadi sebuah katalis dalam kedekatanku dengan gadis ini.
Setelah beberapa kali hela napas dibarengi dengan baku tatap, akhinya aku mulai mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaannya barusan.
“Aku pulang saja, tidak masalah.”
Ia tersenyum. “Baiklah, tetapi kalau sekiranya cuaca tidak memungkinkan, kau bisa bermalam di apartemen ini.”
Saat euforia tentang ajakan Kiara menggelora di hati, tiba-tiba bayang-bayang tentang Freia sukses menyadarkanku. Ada seorang gadis yang saat ini tengah memercayakan segalanya kepadaku, tetapi tidak kugubris seharian.
Sejenak kulihat ponsel yang langsung menampilkan 57 panggilan tak terjawab serta 38 surel pada notifikasi. Sekujur tubuhku mendadak dingin. Bahkan hangat tatapan Kiara terasa tidak berarti tatkala melihat urutan pemberitahuan yang terjadi sejak pagi hingga sepuluh menit lalu.
Napasku langsung terburu.
Bahkan pandanganku pun mendadak buram.