Rayseans, Sabtu 25 Agustus 2306
Kupagut tubuhnya untuk memindahkan gadis itu ke ranjang. Namun, tatkala aku hendak melepaskannya, pagutannya terasa makin erat di tubuh ini. Terdengar isak yang begitu santer, memilukan indra dengan segenap elegi di dalamnya.
Tidak ada frasa apa pun, tetapi aku bisa merasakan getaran minor itu menjalar di sekujur tubuhnya. Segalanya makin menjadi tatkala aku hendak melepaskannya di atas ranjang ini.
“Ku-kumohon, jangan pergi. Aku ingin kau ada di sini. Jangan tinggalkan aku. Maafkan aku, maafkan aku,” ujarnya dalam lirih.
“Aku yang seharusnya minta maaf kepadamu, Frei.”
Ia menggenggam punggungku begitu kuat. “Aku tidak seharusnya melakukan itu tadi pagi. Maafkan aku, kumohon. Aku akan berusaha jadi gadis yang lebih baik.
“Tetapi, jangan pernah tinggalkan aku tanpa kabar seperti tadi.”
Tubuhku terasa begitu lemas mendengar frasa yang terlontar dari lisan Freia. Ia adalah gadis yang begitu periang, tidak pernah sekali pun aku melihatnya dalam kondisi seperti ini. Sungguh, apa pun yang telah terjadi kepadanya, hal itu pasti begitu menyakitkan hingga ia harus seperti ini.
Aku baru menyadari, gadis ini bahkan mengenakan satu-satunya kemeja yang belum dicucinya. Apa yang sebenarnya Freia pikirkan tentang ini semua? Mengapa hatiku tiba-tiba terasa jauh lebih hangat ketimbang sebelumnya.
“Maafkan aku, sungguh aku tidak melihat ponsel sama sekali sejak tadi.”
“Aku tahu, mungkin memang aku tidak semenarik Kiara, tetapi aku mohon jangan pernah tinggalkan aku, Adrian.”
Entah bagaimana kata-kata itu akhirnya berhasil meruntuhkan segenap bahagia yang barusan saja kurengkuh. Pagutannya terasa makin santer bersama tubuhnya yang gemetar. Isak penuh elegi lagi-lagi mengudara, memenuhi seisi kamar dengan lantunan pilu. Aku tidak kuasa mendengar ini semua, terlebih ketika ia membandingkan dirinya dengan Kiara.
Lagi-lagi aku berada di simpang kebimbangan.
Segala yang telah terjadi dengan Kiara seharian ini sontak sudah mengubah seluruh hatiku. Aku tidak ingin menyia-nyiakan gugus semboyan yang ditampakkannya sejak tadi. Akan tetapi, aku juga tidak bisa membiarkan Freia dalam keadaan seperti ini.
Kepalaku masih belum mampu memproses segenap instruksi yang makin lama makin membuat segalanya tidak karuan. Apakah memang ada semesta rasa yang terendap untuk gadis yang saat ini kudekap?
“Aku minta maaf telah meninggalkanmu sendirian hari ini. Namun, kumohon jangan pernah mengatakan apa pun tentang dirimu dan Kiara.”
Tangis gadis ini makin menjadi tatkala frasa tersebut berakhir.
“Berjanjilah untuk tidak hilang, Adrian. Berjanjilah kepadaku.”
“Aku berjanji kepadamu, Freia. Aku tidak akan melakukan ini lagi kepadamu.”
Gadis itu masih saja memagut tubuh ini begitu lekat. Segala yang ia lakukan seolah mengajakku ke dalam semesta rasa yang ia miliki. Aku tahu, tidak mungkin seorang gadis melakukan ini apabila tidak ada cinta di hatinya.
Namun, perasaanku kepada Kiara seolah membutakan itu semua sejak awal. Banyak teman sekelas yang mengatakan bagaimana cara Freia memandangku sejak awal. Akan tetapi, aku tidak pernah memercayai segala perkataan mereka.
Hujan masih turun dengan deras menambah syahdunya malam ini. Tangis gadis ini akhirnya mereda bersama dengan pagutannya yang makin melemah. Kuhela napas begitu panjang saat mendapati kami berdua sama-sama berada di atas ranjang.
Secepat kilat aku langsung mengalihkan tubuh, mendapatkan Freia menatap dengan wajah begitu merah. Ia menyeka air yang masih menggenang di sepasang mata cokelatnya. Sorot kami berbaku, bahkan aku bisa melihat ada frasa tersurat dari sepasang bibir Kiara yang sedikit terbuka.
“Bagaimana kalau kau besok ikut ke sifku?”
Ia sedikit terkejut sampai menegakkan tubuhnya. “Be-benarkah? Apa tidak apa?”
Aku mengangguk pasti. “Tentu saja, setidaknya kau bisa berada di dekatku. Namun, Kiara juga ingin datang ke sana besok. Apabila kau tidak berkenan, aku akan meminta Kiara tidak datang.”
Ia menggeleng pasti. “Tidak masalah, aku ingin berbicara banyak dengannya.”
“Aku ingin memakan masakanmu, apa kau juga ingin makan malam?”