Rayseans, Selasa 28 Agustus 2306
Aku mengagumi rasa masakan ini, persis seperti apa yang Kiara pernah hidangkan belum lama. Kupejamkan mata tatkala mencicipi tiap potong daging yang terasa begitu lembut ini. Seketika, imaji tentang apa yang dilalui hari ini menyeruak di kepala. Segalanya terasa seperti mimpi melewati hari yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Sialnya, saat mata ini terpejam, bayang-bayang Evelynn malah muncul begitu nyata. Terlebih ia adalah sosok manusia yang terakhir kulihat sebelum memakan masakan ini. Sihir apa yang sebenarnya gadis itu miliki?
Makin aku mencoba melupakan, makin tak sanggup rasanya kepala ini menghapus semua imaji tentang gadis itu. Segalanya terasa masih begitu nyata di ingatan. Terlebih bagaimana ia menunjukkan keindahan yang dititipkan semesta kepadanya.
Mengapa aku tak kunjung bisa melupakan bayang-bayang gadis nirmala itu?
Padahal aku tidak pernah menyangka bahwa ia adalah Evelynn Anandta. Gadis itu begitu sempurna, ia cantik, sudah pasti genius, dan juga bisa mengendalikan segala hal. Rasanya bahkan menyenangkan ketika menerima perintah dari lisannya, seolah aku bisa melakukan itu terus tanpa terpaksa.
Tatkala makanan ini sudah habis, aku mendengar ada suara ketukan dari balik pintu. Kali ini, tidak ada gagang yang terbuka, hanya hening di akhir ketukan itu. Mengapa aku justru berharap Evelynn kembali lagi ke sini?
Aku pasti sudah gila karena tingkahnya sejak pertama.
Kuhela napas seraya memimpin langkah menuju pintu dan membukannya. Ia adalah Freia, gadis itu melambaikan tangan seraya menorehkan senyum yang terlihat begitu menawan di atas wajahnya yang memerah.
“Bolehkah aku singgah sejenak?” tanya gadis itu.
“Silakan, tentu saja,” ujarku lalu membuka pintu lebih lebar. “Kupikir kau bahkan sudah di sini saat aku tadi pulang.”
“Evelynn mengajakku ke apartemen milik adiknya,” ujarnya lalu melewati kosen. “Aku hanya ingin melihatmu sebelum aku tidur.”
Sungguh jantungku berdetak begitu kencang seraya rasa sesak yang membuat dada ini sulit untuk bernapas. Aku tidak tahu, mengapa Freia mengatakan itu. Namun, segalanya sukses menyingkirkan sebagian imaji tentang gadis penguasa semesta raya itu.
“Te-terima kasih,” ujarku dengan wajah begitu panas.
Ia tertawa kecil. “Kau terlihat begitu lucu kalau wajahmu merah.”
Sungguh apa yang ia katakan membuatku seketika terdiam. Seluruh frasa yang ada di kepala seolah tertahan bersama dengan panasnya wajah dan mengunci lisan ini dalam hening. Gadis itu masih tersenyum, membuat seluruh tubuhku bergeming, menikmati lukisan semesta yang begitu indah di sana.