Rayseans, Rabu 29 Agustus 2306
Aku tahu, mengabdi bagi negara adalah hal mulia. Terlebih, Freia memiliki ikatan dinas karena ia termasuk dalam konglomerasi SEMESTA. Belum lagi Kiara, gadis itu juga perwira dengan pangkat Kapten di Ventus Imperias Infinetas. Apabila memang perang benar-benar terjadi, maka Kiara pasti akan berada di medan laga.
Aku tidak bisa membayangkan, kondisi seperti itu akan benar-benar terjadi. Terlebih formasi militer yang selalu diberitakan secara publik memang terdiri dari 52% laki-laki dan 48% perempuan. Hal ini bukan menyangkut kesetaraan atau apa pun, tetapi karena memang komposisi penduduk lebih dominan perempuan ketimbang laki-laki.
Survey pada tahun 2305 kemarin menyatakan penduduk usia produktif perempuan ada di angka 67% sementara laki-laki 33%. Itu berarti ada dua perempuan untuk setiap laki-laki. Perbandingan itu terus menerus turun setiap tahun, sehingga memiliki anak laki-laki merupakan sebuah anugerah semesta yang begitu luhur.
Sejenak, terpikir di kepala tentang ucapan Elynn barusan. Tidak mungkin rasanya membiarkan Freia dan Kiara di medan tempur, sementara aku menikmati keistimewaan sebagai masyarakat sipil dan pergi ke koloni lain.
Namun, bagaimana aku memulai ini?
Aku tidak tahu apa yang harus diperbuat setelah ucapan Evelynn barusan. Ada hal yang terasa begitu menyenangkan saat ia bercerita tentang Freia. Terlebih gadis itu seolah sudah terbuka akan semuanya sejak kemarin.
Mungkin memang benar, selama ini aku kurang peka dengan semboyan yang dilontarkan gadis itu sejak awal. Akan tetapi, perasaanku kepada Kiara juga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Selama ini, hatiku telah tertutup oleh perasaan kepada sang Kapten. Terkadang, aku berpikir betapa naifnya tidak memedulikan bahwa ada hati lain yang selalu membuat nyaman. Saat ini, aku mulai merasa bersalah kepada Freia.
Sekali lagi, ia adalah anak bungsu Princeton Roem, berasal dari keluarga terpandang. Bahkan memikirkan untuk melakukan ini dengannya pun rasanya tidak mungkin. Terlalu dini bagi angan ini untuk terus berkelana tentang sebuah akhir yang indah.
Gemuruh masih saja terdengar begitu gagah menggelegar di kejauhan. Sesekali kilatan demi kilatan merobek cakrawala terekam jelas melalui indra yang bisa melihat dari kaca jendela apartemen. Air yang tercurah dari nimbostratus kali ini terlihat lebih intens dari sebelumnya.
Aku masih saja memikirkan apa yang Evelynn katakan. Rasa-rasanya berat harus berpisah dengan Freia setelah apa yang terjadi kepada kami akhir-akhir ini. Terlebih, sang BELLATRIX sangat yakin bahwa bencana itu akan segera datang.
Seolah semuanya berada di depan mata.
Sekali lagi terdengar ketukan dari arah pintu. Aku tidak paham, mengapa mereka tidak menekan bel saja ketimbang mengetuk? Menepis segala tanya itu, kulangkahkan kaki untuk membuka pintu berwarna cokelat tua untuk mendapati seorang pasukan Ventus Reginae berambut pendek yang menyapa dengan tersenyum.
Wajahku terasa begitu panas tatkala melihat Freia mengenakan seragam Ventus Reginae yang terlihat begitu pantas di tubuhnya. Warnanya memang berbeda dengan milik Kiara, tetapi tidak mengurangi aura ksatria yang terpancar dari sosoknya.
Ada empat balok berwarna perak di lengan dan pundaknya, menandakan ia memiliki pangkat Sersan Mayor. Padahal, seingatku kemarin ia hanya memegang pangkat Sersan Dua. Apakah ada yang terjadi kepadanya sehingga mendapatkan promosi secepat itu dalam semalam?
“Ka-kau tampak cantik dengan seragam itu,” ujarku memuji kenirmalaan gadis yang saat ini berada tepat di depanku.
Wajahnya begitu merah tatkala frasa barusan selesai terlontar. “Te-terima kasih, baru pertama kali aku mendengar kau mengatakan itu, Adrian.”
Aku mengangguk. “Sungguh, kau begitu cantik, Naina.”
Kami terdiam, saling menatap dalam syahdunya lorong lantai tujuh. Tatkala lisan ini sama-sama dibungkam hening, mata kami berbaku tatap. Sebuah kehangatan penuh semara seolah terpancar dari tiap bait sorot meneduhkan dari gadis berseragam militer ini.
Rasanya begitu menyenangkan, menggelitik ke seluruh tubuh bersama dengan alunan napas Freia yang terdengar menenangkan. Tidak pernah dalam hidupku merasakan nuansa seindah ini; lebih indah dari apa yang pernah Kiara berikan di Stasiun Remeron.
“Mengapa kita saling terdiam?” tanyaku lalu tertawa kecil, masih dengan wajah panas.
Ia menunduk lalu menghela napas dan menatapku. “Aku ingin berbicara sesuatu denganmu, tentang ini semua.”
Aku mengangguk. “Aku paham, Evelynn sudah mengatakannya tadi.”