Rayseans, Rabu 28 Agustus 2306
“Sepertinya kalian menikmati hari ini,” ujar Evelynn tiba-tiba sudah berada di sebelahku.
“No-Nona Anandta,” sergahku sedikit kaget.
“Naina, kau ingat apa yang kukatakan terkait hal yang ingin kau ucapkan tadi?” tanya Evelynn dengan senyum, tetapi kontradiktif dengan aura yang terpancar dari raganya.
“Ma-maafkan aku.”
“Baiklah, sebentar lagi waktunya makan siang. Saatnya aku memasak untuk kalian.”
“Bagaimana kalau aku yang memasak?” tanyaku menawarkan diri.
“Negatif,” sahut Evelynn, “kau tunggu saja di sini. Lagi pula, Sersan Satu Roem harus menjelaskan beberapa hal sebelum aku bisa memasukkan namamu ke daftar prajurit lolos simulasi.”
Evelynn lalu meninggalkan kami, ia masih mengenakan seragam putih gading dengan rok biru tua yang begitu berwibawa. Namun, bukan hal itu yang saat ini menjadi pikiranku. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Freia masih saja terngiang di kepala.
Apa yang sebenarnya ia sembunyikan?
Kuhela napas begitu panjang tatkala melihat Kiara keluar bersama gadis berambut pirang yang diketahui memiliki nama Thelletha Cauctheinz. Ia duduk menyendiri di sudut lain seraya membuka komputer jinjing militer.
Sejenak aku mengingat tentang sayembara yang dibuat oleh Annastasia untuk mencari diriku. Aku tahu, pasti banyak dari orang yang dikenal akan menghubungi. Benar saja, saat aku meraih ponsel, ratusan notifikasi tentang banjirnya surel masuk tampil di layar.
Aku menghela napas seraya menggelengkan. Belum lagi puluhan panggilan tak terjawab dari teman sekelasku juga terlihat memenuhi layar ponsel. Sungguh, aku tidak ingin menggubris itu semua. Setelah mengetahui apa yang Annastasia sebenarnya inginkan, rasanya tidak mungkin tetap berada dalam kondisi ini.
Sejenak aku membuka lagi ponsel, tadi pagi gadis itu baru saja melakukan siaran langsung. Di sana, ia bahkan menaikkan uang hadiah apabila bisa menemukan diriku. Aku menghela napas begitu panjang, menyadari bahwa waktu satu pekan yang diberikan Aldrich sebenarnya tidaklah cukup.
“Tampaknya Annastasia begitu ingin mengetahui di mana Ald berada,” ujar Kiara lalu duduk di sebelahku.
Setelah melihatnya dengan seragam kamuflase, kini mataku kembali terpana melihat seragam perwira itu dikenakannya. Sungguh, ia begitu pantas mengenakan blazer biru dengan pangkat satu bintang perak di pundaknya.
“Ka-kau cantik, Kiara,” ujarku tanpa sadar memuji gadis yang wajahnya seketika memerah.
“Bukankah kau juga mengatakan itu kepada Freia?” tanyanya pelan.
Kini giliran wajahku yang terasa panas. Aku baru menyadari kemudian bahwa frasa yang sama juga terlontar untuk gadis yang saat ini tengah membantu Evelynn.
“Ka-kau benar.”
“Terima kasih,” ujarnya lalu menatapku.
Sungguh aku tiada mungkin menampik keindahan yang ditawarkan oleh Kiara. Harus juga kuakui bahwa ia memiliki segalanya ketimbang Freia.
Sudahlah, aku tidak boleh membandingkan kedua gadis itu.
Bagaimanapun, Freia sudah berada dan berusaha sekeras ini agar bisa tetap berada di perimeter hatiku. Tidak elok rasanya membandingkan keduanya, meskipun awam ini masih saja menunjuk ke arah Kiara yang lebih memiliki segalanya.