The Perpetual Chronicle: Fusion-Null

Faristama Aldrich
Chapter #43

Kedamaian (2)

Rayseans, Jumat 31 Agustus 2306


Ia mengangguk. “Aku akan ikut bersamamu sepulang sekolah nanti. Setidaknya ada hal yang ingin kusampaikan.”

“Baiklah, sampai bertemu nanti, Praeses.”

“Adrian,” panggilnya pelan, “tolong jangan mengatakan tentang ini kepada siapa pun tentang ini, sungguh.”

Aku tersenyum seraya mengangguk. “Tenang saja, Praeses. Rahasiamu aman bersamaku.”

Dengan lambaian tangan ringan, kutinggalkan sosok pemimpin organisasi siswa itu di lobi. Tidak ada orang lain selain kami yang saat ini berada di sekolah. Cuaca yang terasa makin buruk seiring masa berlalu seolah mengatakan urgensi yang berbeda tentang ini semua.

Sejenak aku melihat beberapa laman portal berita tentang keberangkatan siswa Weyfert ke Klamart besok. Katanya, mereka akan menguji coba kereta cepat generasi terbaru. Aku memang melihatnya ada empat rangkaian kereta cepat terparkir di peron 7 sampai 10.

Bahkan, seharusnya murid Weyfert sudah tidak masuk ke sekolah hari ini. Mungkin, berbeda kasus dengan Annastasia, Heivn, Thelletha, dan Carl. Mereka harus menyelesaikan sesuatu sebelum akhirnya diizinkan untuk berangkat besok.

Megahnya cakrawala masih saja dirundung oleh gugusan Nimbostratus yang masih betah berada di takhta langit. Tidak ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera berakhir meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 17.00.

Aku berpandangan dengan Freia seraya menatap ke arah jendela yang berada di sebelah kanan, menyadari bahwa air langit masih saja tercurah begitu dahsyat saat ini.

“Kau bisa pulang sendiri, Naina?” tanyaku pelan.

Ia mengangguk. “Tentu saja, Kakak akan menjemputku, sepertinya dia sudah datang.”

“Kau benar, aku melihat Bentley putih baru saja masuk ke halaman sekolah.”

Ia menghela napas seraya menatapku. “Baiklah, besok aku akan bermalam di tempatmu. Kebetulan besok Kakakku akan pergi ke Klamart.”

Aku mengangguk. “Tentu saja, aku akan menunggumu.”

Ia menggenggam jemariku begitu erat. “Sungguh, aku benar-benar membutuhkanmu lebih dari apa pun.”

Sejenak wajahku langsung terasa panas bersama dengan desir semara yang terasa begitu santer dari sentuhannya. Sejurus, aku mengajaknya untuk turun guna mengantarkan raga gadis ini ke hadapan kakaknya.

Sungguh, jantungku terus berdetak begitu cepat tatkala langkah demi langkah tercipta, makin mendekatkanku dengan sosok kakak kandungnya. Terlebih, ketika raga kami sudah berada di lobi, sosok lelaki yang terlihat asing itu langsung berdiri dan menghampiriku.

“Jadi kau yang bernama Adrian?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum.

“I-iya, aku Adrian Rigera,” ujarku agak terbata seraya melepas pagutan jemariku untuk menjabat tangan lelaki itu.

“Reinhard Alexander.” Ia menjabat tanganku dan tersenyum.

“Maafkan aku tidak mengetahui apa pun, Tuan Roem.”

Ia menggeleng. “Reinhard saja.”

“Kau mengingatkanku kepada seseorang mulia yang juga tidak ingin dipanggil seperti itu,” ujarku lalu tersenyum.

“Keluarga kami selalu mengajarkan untuk menjadi sederhana. Karena sederhana adalah gaya hidup, sehingga kami harus menerapkan itu di kehidupan sehari-hari,” ujarnya lalu menepuk pundakku pelan.

Lihat selengkapnya