Rayseans, Jumat 31 Agustus 2306
Aldrich lalu tersenyum. “Aku ingat, saat itu ada karya wisata ke Hutan Quantroun. Kau benar-benar tersesat saat tiba di halaman rumah keluargaku.
“Namun, dari mana kau tahu bahwa itu aku?”
Gadis itu tampak memejamkan mata sejenak kemudian tersenyum seraya menatap ke arah Aldrich. Sungguh, selama mengenal Alexandra, aku tidak pernah melihatnya berekspresi sehangat itu.
“Aku ingat, ada empat orang lelaki dengan seragam kamuflase di belakangmu, lalu ada juga seorang gadis yang mengikutikmu. Wajahnya mirip Annastasia, tetapi aku yakin ia bukanlah Annastasia.
“Dia adalah Elina,” ujar Aldrich, sepertinya itu adalah nama kecil Kiara mengingat figur yang disebutkan Alexandra barusan.
“Apakah karena hal itu?”
Ia menggeleng. “Bukan, di sana aku belum pernah mengetahui apa pun. Namun, ketika ujian wajib militer bagi Praeses Corsa, aku melihat dirimu lagi di ruang komando.
“Aku tahu, mungkin itu benar-benar satu ketidaksengajaan. Karena saat itu aku hendak menyerahkan hasil uji senapan, aku melihatmu bersama dengan Panglima dan Presiden. Kau mengenakan seragam SIRIUS lengkap dengan tongkat komando.
“Mungkin, kalau aku belum pernah bertemu denganmu di Quantroun, aku tidak akan tahu kalau itu dirimu. Karena aku mencium aroma citrus yang begitu kental.”
Aldrich mengangguk. “Baiklah, apa yang membawamu ke sini?”
“A-aku …,” ujarnya ragu seraya menatap Annastasia dan Thelletha yang baru saja bergabung dengan kami.
“Katakanlah, aku tidak akan menyalahkanmu,” ujar Annastasia seolah mengerti apa yang dipikirkan Alexandra.
“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih kepadamu, Tuan Anandta. Sungguh andai kau tidak berada di sana, segalanya pasti tidak akan seperti ini.”
“Aldrich saja, tidak perlu panggilan itu,” sanggah lelaki itu.
“A-Aldrich, itu terdengar tidak sopan,” ujar Alexandra dengan wajah memerah.
“Tidak masalah, aku tidak suka orang memanggilku dengan sebutan seperti itu.” Aldrich lalu menatap wajah Alexandra. “Apakah ada hal lainnya?”
Gadis itu tampak beberapa kali menghela napas sebelum akhirnya menatap Aldrich. Wajahnya begitu merah seraya bibirnya sedikit terbuka tatkala tatapannya melekat ke sosok lelaki berambut abu-abu itu.
“A-aku mencintaimu, Aldrich Anandta.”
Aku tidak tahu apa yang lelaki itu rasakan. Ia hanya menatap Alexandra dengan senyum yang terlihat bersahaja. Aldrich beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri gadis itu. Ia mengusap pelan kepala Alexandra.
Tidak ada raut cemburu terpancar dari kedua gadis yang saat ini sama-sama menatap ke arah Alexandra. Aku tidak tahu, tetapi hati mereka seolah dibuat dari komposit yang berbeda dengan gadis kebanyakan.
“Apa yang membuatmu jatuh cinta kepadaku, Leina?”
Pasti itu adalah nama kecil Alexandra. Gadis itu bereaksi cukup hebat tatkala mendengar nama itu disebut Aldrich. Sungguh sebuah kebiasaan kecil yang selalu membuatku takjub. Aku tidak mengerti, seberapa geniusnya lelaki ini hingga bisa mengingat nama kecil seorang gadis.