Klamart, Sabtu 1 September 2306
Sebuah senjata standar militer diberikan kepadaku. Sungguh, ini adalah kali pertama aku memegang senapan berwarna cokelat kekuningan ini. Ada tulisan FN SCAR HRZ 5 di sebelah popornya, mungkin menandakan nama dan seri senjata ini.
“Prajurit, ini adalah FN SCAR HRZ 5, sebuah senapan otomatis yang dikembangkan khusus untuk tamtama Ventus Reginae. Senapan ini merupakan pengembangan dari FN SCAR HRZ 1 yang sudah digunakan sejak satu abad lalu oleh Admaspheria.”
Freia tampak terbiasa memegang senjata ini, bahkan ia diberikan jenis lain yang terlihat lebih canggih berwarna hitam. Tentunya, pangkat sersan dua yang saat ini diembannya pasti memiliki spesialisasi lainnya.
“Apa bedanya milikku dan Sersan Dua Roem?”
“Sersan Dua Roem sudah memiliki lisensi aktif dari negara untuk menggunakan senapan plasma. Tentu saja hal itu juga karena golongan bintara sebagai syarat minimumnya.”
Aku mengangguk dan mulai memeriksa senapan ini. Rahmat, nama depan Junaedi, mulai mempraktikkan cara membongkar dan merakit senapan ini. Katanya, ini adalah salah satu kewajiban dasar seorang prajurit untuk bisa merawat senjata yang dipercayakan oleh negara.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya aku bisa membongkar dan merakit kembali senapan ini. Kata Rahmat, waktu satu jam untuk mempelajari ini adalah sesuatu yang cukup cepat.
“Selanjutnya, sebelum aku memercayakan peluru asli, kau harus belajar dengan peluru kosong ini untuk menembak target yang ada di sana,” kata Rahmat sambil menunjuk ke arah target.
“Apa saja yang harus kuperhatikan, Brigadir Mayor?”
“Pertama adalah jarak antara dirimu dan target. Kau bisa menggunakan teropong ini. Kau bisa melihat jarak dalam meter, arah angin, dan seberapa kencang embusan angin dalam satuan Kilometer per Jam.”
“Apakah aku harus menggunakan ini terus?”
Rahmat menggeleng. “Teropong ini hanya digunakan pengintai untuk asistensi kepada penembak runduk. Kau hanya boleh menggunakan ini untuk menajamkan intuisimu sebelum menembak dengan peluru asli.”
Aku mencoba untuk memahami perkataan Rahmat, lalu mulai membidik target dengan terlebih dahulu menggunakan teropong ini. Ada angka-angka yang tidak dimengerti, tentu saja aku langsung bertanya kepada Rahmat. Beruntungnya, ia cukup sabar memberikanku pengarahan.
Instrumen itu menunjukkan angka 5>>> itu berarti 5 Km per Jam dari kiri, selanjutnya jarak ke depan adalah 100 meter. Ia memberikan dasar kalkulasi tentang bagaimana menembak dengan rincian yang diberikan.
Peluru yang digunakan adalah 16,2 gr, dengan perhitungan yang diberikan maka aku harus menggeser 17 sampai 18 ke arah kiri untuk mengimbangi angin. Rahmat memberikanku kesempatan 10 kali menembak sebelum menggunakan peluru asli.
Ini adalah kali pertamaku menembakkan senapan sungguhan; bahkan senapan mainan pun tidak pernah. Pada percobaan pertama aku tidak mengenai lingkaran sama sekali. Namun, Rahmat terus menyemangatiku untuk menghitung ulang.
“Brigadir Mayor Junaedi, mohon koreksi, berapa berat peluru kosong ini?”
Ia tersenyum dan mengangguk. “Kau sadar, peluru yang kau gunakan tidak menggunakan proyektil padat. Itu berarti beratnya hanya sepuluh persennya. Berarti sekarang kau sudah paham.”
Rahmat lalu memberikan magasin yang terasa sedikit lebih berat. Itu berarti sekarang aku sudah diizinkan menggunakan peluru sungguhan.
Kupejamkan mata sejenak seraya bernapas, menyadari bahwa sekarang adalah ujian yang sebenarnya. Sejurus aku mulai memperhatikan target dengan seksama.
“Perhatikan angin di sekitarmu, prajurit! Perubahan angin signifikan akan membuat pelurumu bergeser jauh.”
Aku memahami perkataan Rahmat dengan anggukan pelan. Sekali lagi aku memperhatikan target dengan kedua mata terbuka. Mata kiri digunakan untuk memperhatikan objek sekitar, sementara yang kanan digunakan untuk memperhatikan target.
Setelah angin terasa stabil, aku langsung menarik pelatuk. Tembakan pertama tidak tepat di tengah, tetapi masih mendapatkan nilai 8. Pada tembakan selanjutnya, aku berhasil memperoleh nilai 9. Makin lama, bidikanku makin akurat hingga 6 peluru sisa berhasil mendapatkan nilai 10.
“Untuk pemula, kau cukup berbakat, prajurit.”