Sepanjang jalan basah terhujani sejak pagi hari. Untunglah Ziya mengenakan jaket bomber yang tidak tembus air, namun rambut dan celananya tetap basah saat berlari mencari tempat berteduh. Padahal saat ini sudah pertengahan bulan mei, yang artinya sudah musim kemarau. Tetapi, mungkin Tuhan ingin memberikan kejutan untuk mereka yang merindukan hujan.
Aroma petrichor, aroma yang dihasilkan hujan saat membasahi tanah yang kering, menguar menusuk tajam indra penciuman. Sudah sejam saat hujan berhenti, namun keadaan Ziya belum kering sempurna. Kini mata Ziya tampak sembab akibat diterpa air hujan saat berlari tadi. Ia berusaha membelalakkan mata agar tidak tampak saat diterpa cahaya matahari yang baru muncul.
Berjalan tanpa arah yang pasti dalam keadaan linglung, Ziya pun tak dapat menutupi sebagian wajahnya karena masker sekali pakai yang digunakan sebelumnya harus dibuang. Ia hanya bisa berjalan tertunduk dengan perasaan jengkel karena ekspektasinya gagal terus menerus. Ia memiliki rencana sejak awal yang harus dalam kondisi sepi, jauh dan keramaian, dan tanpa penguntit.
"Oh! Ayolah, sejauh mana lo mau ngikutin gua?" jengkel Ziya diikuti seseorang.
Lawan yang ia ajak bicara tidak memberikan jawaban. Ziya pun membalikkan badannya memastikan ia tidak salah bicara.
"Gua tau itu lo, dit! Dari awal di halte lu ngikutin gua sampe sini"
Radhit pun keluar dari bangunan ia bersembunyi. Raut mukanya tampak khawatir melihat Ziya.
"Sekarang lo jelasin kenapa jalan sejauh ini?" Radhit berjalan mendekati Ziya.
"Serah gua lah, mau ke ujung duniapun juga hak gua pak!"
"Lo cewek ngga baik jalan jauh sendirian!" Kini Radhit tiga langkah dihadapan Ziya.
"Apa penampilan gua masih sefeminim cewek? Bahkan orang bingung harus panggil gua apa,"
"Iya, gua takut lo ada apa-apa? Nggak akan ada yang tau di ja.."
"Ada yang nyulik gua? Jambret gua? Atau me.."
"Mental lo gak baik!" adu cekcok pun terjadi. Beberapa pejalan kaki sempat berhenti menyaksikan tingkah mereka seakan kejadian dalam drama. Diam sejenak, Ziya menyeringai jengkel melihat sikap Radhit. Ziya mendekati Radhit.
"Mental? Kemana aja lo! Lo gatau kan kenapa hidup gua jadi sehancur ini?" Radhit diam tidak menjawab menatap Ziya.
"Huh! Lo dengar keadaan gua sekarang dari pacar lo kan? Dari Tina brengsek kan? Wah! Hebat banget nggak tuh cewek lo bikin gosip,"
Radhit hanya bisa menghela napas dengan raut khawatir.
Sekali lagi Ziya menyeringai, meninggalkan tawa mengejek, lalu berbalik jalan tanpa mempedulikan penguntitnya.
Di sore hari sebelum senja, awan berarak indah menutupi kilauan cahaya langit. Beberapa kelopak bunga beterbangan menghalangi Ziya memandang langit. Ia terkejut melihat banyak bunga bergugur dan berserakan di tanah.
"Ini pohon apa pak? Sakura? Kok bisa di Indonesia?" Ziya mendekati penyapu jalanan.
"Bukan neng, kata orang ini Pohon Tabebuya, kembarannya Pohon Sakura di jepang."
"Oalah, saya kira Sakura. Masa iya di Indonesia hahaha"
"Iya neng. Pas gugur gini berasa di Jepang!"
Angin berhembus semakin kencang. Samar-samar pelangi mencuat diantara awan-awan yang menggumpal. Pemandangannya kian mempesona ketika kelopak serta bunga yang berguguran di tanah tertiup angin dan menari di udara. Bunga selalu mengingatkan Ziya pada sang ibunda. Ibunda sangat gemar menanam bunga.
"Iya, bunda dulu punya janji ke Ziya pergi ketempat yang banyak bunga indah berguguran."
"Gua akan ngelakuin rencana gua sekarang kok, belom saatnya karena pengutit!" Ziya menekankan kata 'Penguntit' agar Radhit yang berdiri jauh darinya mendengar dengan jelas.
"Sebenernya apa sih rencana lo itu?" Radhit khawatir, namun kini ia tidak berjalan mendekati Ziya. Ziya melirik dan pergi ke halte bus hingga akhirnya ia pulang dan ditinggal radhit.
Malam itu, pukul 11:00, semuanya tampak aman bagi Ziya. Ia tidak melihat kehadiran Radhit saat keluar dari kosannya. Ia pun naik bus di halte terdekat menuju jantung kota. Dipemberhentian yang dituju, ia turun dan bertemu tiga wanita yang ia kenal lewat medsos.
"Hai karin! Apa kabar! Senang ketemu lo." sapa seorang wanita seumuran Ziya dengan pakaian minim bahan. (Disini, Ziya berpura-pura menjadi Karin)
"Karin... Kita kan mau ngeclubing. Pakaiannya yang menarik dikit dong," sahut wanita satunya dengan belahan dada terekspos.
"Gua tepos nggak kayak lo!" tukas Ziya.
"Ih! Gaya lo tuh kek cowok banget! Nggak boleh gini! Lo harus kita makeover,"
"Gausah lah ya, gini aja gua mau minum banyak!" tangan Ziya menepis tangan mereka yang membuat mereka kaget dan juga takut karena wajah geram Ziya.
"Yaudah ayo!" tak mau memperpanjang masalah, akhirnya wanita yang lebih tua di antara mereka bertiga berjalan mendahului mereka.
"Karin, lo nggak mau berubah pikiran nih? Pake wig juga bisa lho!"
"Iya, rambut lo pendek banget kayak cowok,"
"Masa sih. Nggak biasa rambut panjang, gerah sama gatel di leher," jawab Ziya sambil menggaruk lehernya.
"Ini bukan pertama kali lo ya?" tanya wanita yang lebih tua.
"Udah beberapa kali sih kalo bebas dari penjagaan," Ziya menyeringai mengingat tingkah protektif Radhit.
Sesampai depan bar, mereka masuk dan langsung disambut pria berhidung belang. Rupanya mereka telah janjian sehingga mereka pas berpasangan.
"Hei, kamu cewek apa cowok? Gayanya cool banget," goda Pria yang belum memiliki pasangan.
"Baru pertama kali ya? Sama saya aja pelan-pelan," sambung Pria itu sambil merangkul pundak Ziya yang membuatnya jengkel.
"Apa semua dilihat dari penampilannya?" Ziya menatap tajam dan mengikuti tiga wanita tadi masuk bersama pasangannya.
"Whiskey!" dengan lagak lebih tau, Ziya mengacungkan satu tangan membuat rombongannya tadi tidak percaya. Ziya dengan cekatan menuangkan ke gelas dan menegaknya dengan cepat.
"Wow! Sudah pintar! Kalo diluar negeri namanya one shoot." puji Pria itu yang merangkulkan tangannya ke pundak Ziya dan langsung ditepis dengan kasar.
"Jangan ganggu!" bentak Ziya yang semakin oleng, mulai hilang kesadaran.
"Oke oke, maaf hahaha"