Camelia pink melambangkan kerinduan seseorang dan diberikan kepada seseorang yang telah lama dirindukan.
Traaaang....
"Aduh.. Shhhh"
"Bunda kenapa? Ya ampun! Jari bunda berdarah," mendengar suara gaduh di dapur, aku lekas ke dapur dan mendapati tangan bunda yang teriris pisau.
"Haduuuh! Bunda, hati-hati dong!"
Aku pun lari mencari kotak P3K yang ternyata sudah dibawa oleh Radhit.
"Terimakasih," Radhit memberi betadine dan membalut luka di jari bunda dengan plester luka.
"Sama-sama tante, hati-hati ya," Radhit merapikan isi kotak P3K.
"Sopnya sudah jadi, bunda nggak tau enak apa nggak,"
Aku membantu bunda memindahkan sop ayam dalam panci dan membaginya di tiga mangkok.
"Loh, wortelnya belom dimasukin bunda?" aku terheran karena bunda baru memotong wortel yang juga menyebabkan tangan bunda teriris pisau.
"Iya, tadi bunda kelupaan. Masukkin aja,"
"Tapi wortelnya masih keras bunda, bukannya kalo wortel lebih lama matangnya?" bunda hanya terdiam dan terlihat bingung.
"Yaudah, gapapa bunda. Gausah pake wortel juga udah enak kok," aku takut melukai perasaan bunda, jadi tidak masalah walaupun kurang wortel sekalipun.
Kami bertiga duduk di meja makan bersama. Radhit ikut makan siang karena diajak bunda, padahal aku sudah suruh pulang. Saat kami mencicipi sop ayam, aku merasakan keanehan.
"Bun...."
"Ssst..." Radhit memberikan kode kedipan mata agar aku tidak memberitahu bunda.
"Ee... Rasa kuahnya anehnya?" bunda dengan malu mengatakan rasa sop ayam buatannya yang sudah dicicipinya.
"I..iya bun, hehehe"
"Bunda mungkin masih capeknya?" sambungku.
"Kalo pesan ayam aja gimana bun?" sahut Radhit.
"Pesen Ayam kentucky aja yuk," aku tidak ingin melihat bunda tegang dan merasa bersalah.
Sore itu, Tante Diar pulang lebih awal. Walaupun hari senin, awal minggu yang sibuk. Ia pulang dengan taksi. Dengan langkah cepat, Ia masuk dan memeluk bunda.
"Elaa... Aku kangen sama kamu," suara Tante Diar yang teredam karena dekapan dengan bunda.
"Iya, aku juga kangen kak..." Bunda sekarang lebih menanggapi dengan tawa bahagia.
"Tante, bunda ikut aku boleh ya?" aku hendak mengajak bunda untuk tinggal di indikos yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Tante Diar.
"Nggak!" sentakkan keras membuat aku dan Radhit pun kaget.
"Kalo mau dekat dengan bunda mu, kamu harus tinggal sama Tante!" kini wajah sedih Tante Diar berubah jadi tatapan kesal.
"Ayahmu tidak akan kesini. Tolong sekali ini percaya sama Tante! Bahkan Ia tak pernah tau kabar kamu dan tante, jadi tolong, jangan buat tante lelah kesepian!" kini Tante Diar kembali menitikkan air mata.
Sebenarnya, aku masih takut-takut untuk tinggal bersama Tante Diar karena bisa saja, ayah datang dan itu mimpi terburukku.
"Kalo begitu saya pulangnya, Tante." Radhit pamit pulang, akhirnya.
Malam itu, kuhabiskan waktuku bersama bunda, juga tante diar. Walau ada perasaan takut, tapi bunda adalah yang terpenting. Bunda pun juga menyakini kalau aku akan baik-baik saja, tante diar sudah berkata begitu. Malam indah itu, aku, bunda, dan tante diar habiskan dengan kisah kerinduan yang selama ini tertahan. Bunda mendengarkan dan tidak menyela aku dan tante diar bicara sekalipun. Tatapannya hangat.
Aku pun bersyukur, walau sebelumnya sempat menyinggung mengapa aku tidak ingin bertemu ayah, tetapi bunda tidak menanyakan atau membahasnya sama sekali. Walau sebenarnya aku ingin cerita terkait ayah, tapi hati ku masih sakit dan pastinya kalimatku akan terbata jika mulai membicarakan soal ayah.
"Kamu sekarang kuliah dimana, Ziya?" tanya bunda tiba-tiba.
"A..."
"Ziya main terus, nggak kuliah," sela tante diar. Tante Diar sempat terkikik saat mendengar pertanyaan bunda dan membuat aku jengkel. Kenapa malah jadi lucu buat tante diar?