The Pieces of Memories

Moon Satellite
Chapter #2

SATU

 Suasana panti asuhan Cahaya Delima sedang sibuk, ada yang sedang membantu memasak di dapur, ada yang sedang membersihkan ruang aula, dan sisanya sedang menyapu halaman depan. Mereka sibuk seperti itu karena katanya, panti mereka akan kedatangan para ketua Yayasan dan biasanya orang-orang terpandang seperti itu satu atau dua akan melirik anak-anak panti yang dianggap memenuhi kriteria mereka untuk diadopsi. Biasanya yang mengadopsi keluarga yang tidak mempunyai anak tapi harus memiliki ahli waris untuk meneruskan perusahaannya, atau hanya sekedar untuk menemani anak pertama mereka yang terlalu sering ditinggal pergi ke luar negeri.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 siang, menandakan sebentar lagi para kepala Yayasan akan berdatangan. Benar saja beberapa saat kemudian, sebuah mobil yang terlihat begitu mewah dan mahal memasuki pelataran panti asuhan. Aula sudah rapi, dan para anak-anak juga sudah dikondisikan untuk berada di ruang bermain atau taman. Mereka dilarang untuk melintas di koridor depan aula karena akan menganggu acara.

Satu per satu, para ketua Yayasan mulai berdatangan tidak ada dari mereka yang menggunakan kendaran murah seperti motor bebek atau mobil-mobil yang biasanya sering terlihat di jalanan. Semua mobil yang mereka kendarai sama sekali tak ada yang mengenali merk karena terlalu jarang orang yang memilikinya.

Gadis kecil terlihat duduk di pinggir danau sambil melempar-lempar kerikil, sehabis membantu mempersiapkan untuk acara di panti gadis itu berlari menuju danau, tempat ia sering menghabiskan waktu sendirian. Ia tak suka jika hanya bermain di ruang bermain atau bermain di pekarangan panti, tempat ini pula hanya dia seorang yang tahu bahkan sahabat dekatnya pun takt ahu tempat rahasianya ini.

Gadis kecil itu sedang galau, beberapa hari yang lalu ia batal diadopsi lagi walau sudah beberapa kali gagal tapi rasa sakitnya tetap sama dan ia sama sekali tidak bisa terbiasa. Bagi sebagain besar penghuni panti, diadopsi adalah keinginan terbesar mereka, memiliki keluarga yang menyanyanyi mereka, bisa memakai pakaian bagus yang diinginkan.

“Hey! Kamu ngapain di situ?” teriak seorang yang cukup membuat gadis kecil itu terkejut.

Ia segera bangkit dan membersihkan belakang celana pendeknya yang kotor karena ia duduk di tanah. Matanya yang sipit menatap bingung kearah bocah lelaki yang baru saja berteriak dan mengagetkannya.

“Haduh, ditanyain malah bengong aja,” ucapnya lagi dengan membuat postur tubuh yang lucu.

Gadis kecil itu terkesiap, “Cuma lagi main aja,” sambil menunjuk ke arah batu-batu kecil.

Bocah lelaki itu terlihat tidak percaya dengan penglihatannya, sejak kapan batu bisa dibuat mainan, itu isi pikirannya. Rupanya gadis kecil itu paham dengan arti tatapan bocah lelaki yang terlihat tidak percaya.

Dengan sedikit memaksa ia mengulurkan kerikil ke bocah lelaki itu, awalnya bingung tapi setelah gadis kecil itu menunjukkan bagaimana bermain dengan batu-batu kecil itu, bocah lelaki itu akhirnya mencoba, dan seketika ia langsung duduk bersimpuh di atas tanah dan mulai melempari batu-batu kecil itu ke danau.

“Seru juga ternyata, di rumah aku nggak ada danau adanya kolam renang, kalo kolam renang aku lempari batu pasti nanti Mama marah,” celotehnya sambil terus melempari batu.

“Makanya jangan menganggap aneh mainan orang lain, belum tentu hal yang kamu anggap aneh itu aneh,” jawab gadis kecil itu ikut duduk di samping bocah lelaki tadi.

Lihat selengkapnya