Satu tahun kemudian, Lea sudah bagun pagi-pagi ia tidak sabar untuk bertemu dengan Reza sesuai dengan janji yang mereka buat satu tahun yang lalu. Setelah selesai mengerjakan tugasnya di panti gadis kecil yang hampir beranjak remaja itu melangkahkan kakinya menuju danau. Ia tersenyum setelah sampai di danau, dengan segera ia mendudukan tubuhnya di ayunan sambil sesekali mengambil kerikil dan melemparkannya di air.
Lima menit sudah ia menunggu, lima belas menit tak kunjung terlihat kedatangan Reza, satu jam sudah ia menunggu tapi bocah lelaki itu tak juga nampak. Mungkin bocah lelaki itu belum berada di Jogja. Lea memutuskan kembali ke panti, dan keesokan harinya ia kembali ke danau mengulangi kegiatan yang kemarin ia lakukan. Tapi tak kunjung Reza datang, hingga akhirnya liburan semester berakhir dan esok sudah dimulai pembelajaran di sekolah, saat itu Lea tersadar Reza melupakan janji mereka ia tidak menepatinya, Reza tidak datang ke danau. Kedua kalinya Lea merasakan sakit, kali ini karena merasa dikhianati.
Dengan balutan seragam putih biru, Lea berangkat menuju sekolah ini hari pertamanya menjadi murid baru sebagai anak SMP. Ia menyetop bus dengan nomer yang melewati daerah sekolahnya. Hari-harinya berjalan lancar, tak ada hambatan sampai pada saat ada salah satu anak yang mengetahui jika Lea merupakan penghuni panti, kehidupan sekolah Lea tak setenang biasanya. Setiap penjuru sekolah menghinanya sebagai anak buangan, menertawakannya karena tak memiliki orang tua, dan beberapa ejekan lainnya.
Selama ini Lea memang tidak pernah mempermasalahkan asal-usulnya, tumbuh bersama di panti asuhan bertemu dengan orang-orang baik di hidupnya sudah membuatnya bahagia. Tapi hal yang membuatnya marah karena orang-orang yang tidak tahu apa-apa, mengomentari kehidupannya dan memojokkannya seakan-akan hidupnya paling sengsara dan tak ada orang yang menginginkannya.
Bahkan tak jarang, orang-orang berkata jika ia adalah anak yang lahir karena ‘kecelakan’ makanya dibuang ke panti asuhan.
Siang itu karena sudah tak tahan dengan omongan yang keluar dari mulut Lidia, Lea menemui Lidia di kantin dan langsung memberikan bogem mentah di pipinya, yang mengakibatkan gadis itu jatuh tersungkur dengan pipi berwarna merah. Karena kejadian itu alhasil Lea dikenai sanksi, skorsing selama satu minggu.
Selama satu minggu itu, Ileana habiskan berada di panti mengerjakan semua pekerjaan rumah untuk melampiaskan emosinya, menyikat semua lantai kamar mandi, memotong rumput yang sudah tumbuh tinggi, memanen setiap sayuran dan buah yang sudah matang di kebun, mengepel semua lantai di panti. Bunda Asih menatap khawatir melihat Ileana yang sudah bekerja dari pagi hingga malam, perempuan 30 tahun itu sangat tahu karakter Ileana. Sore hari setelah Ileana selesai dengan pekerjaan rumahnya dan sedang leha-leha di ayunan, bunda Asih berjalan mendekatinya dan memilih berdiri di samping Ileana, disentuhnya pelan bahu gadis yang hampir menginjak usia remaja itu, “Kamu ada masalah apa?” ucap bunda dengan lembut.
Ileana yang tadi memejamkan mata, membuka perlahan dan menatap bunda Asih sebentar baru setelahnya ia mengleha napas panjang, “Aku capek bunda, lelah dengan semua ini,” suara Ileana terdengar putus asa, jelas lelah yang dimaksud Ileana bukan karena pekerjaan rumah yang satu minggu ini ia kerjakan.
“Lantas apa yang mau kamu lakukan sekarang?” bunda bertanya rencana kedepan Ileana.
Cukup lama Ileana terdiam, ia seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya. Setelah Reza yang tak kunjung datang dan sama sekali tak memberi kabar, Ileana tidak seperti Ileana yang dulu. Beberapa kali ia gagal diadopsi lagi, membuat mentalnya semakin hancur dan membuatnya menjadi perempuan pendiam dan jarang sekali tersenyum.
Udara dingin tak membuat Ileana beranjak dari tempat ia duduk, masih di tempat yang sama_ayunan taman ia masih betah berada di tempat itu. Satu hal yang ingin ia lakukan saat ini, pergi dari tempat ini dan memulai hidup yang baru, sudah terlalu sakit baginya berada di sini.