Ileana menarik dengan seluruh tenaganya, badan Daniel yang tergelepak, membawanya hingga sofa panjang ruang tengah. Beberapa kali tubuh Daniel terbentur tembok dan lelaki itu sama sekali tidak terbangun, berapa banyak alkohol yang ia minum hingga sekacau dan tepar separah ini. Ileana pergi ke dapur setelah berhasil membawa Daniel, mengambil air minum dari dispenser dan meminumnya dengan rakus.
Gadis itu memilih duduk di kursi makan, dari tempatnya berada ia bisa dengan jelas melihat Daniel yang tertidur di sofa. Badannya yang bongsor meringkuk di atas sofa, beberapa kali Daniel bergerak karena kegerahan dan meracau tak jelas. Pelan-pelan Ileana berjalan mendekat dan berhenti beberapa meter, alisnya bertaut ia tak paham dengan situasi yang sedang terjadi, bagaimana bisa atasannya berakhir di apartementnya dalam keadaan mabuk berat seperti yang dilihatnya.
Beberapa menit Ileana habiskan hanya memandangi sambil terus berpikir apa yang sedang terjadi, ia ingin menghubungi Adam tapi urung melihat waktu saat ini.
“Haus,” racau Daniel tiba-tiba, lelaki itu langsung terduduk walau matanya masih terpejam.
Ileana yang terkejut mundur beberapa langkah, masih dalam diam ia menatap Daniel yang mulai berdiri dan berjalan tak tentu hingga mencapai dapur mengambil air dan menenggaknya hingga habis. Kok dia bisa jalan ke dapur tanpa nabrak tembok, pikir Ileana.
Daniel kembali berjalan menuju sofa setelah menghabiskan tiga gelas air putih, langkahnya masih gontai pengaruh alkohol. Tiba-tiba Daniel berhenti matanya membuka sedikit menatap Ileana yang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu langsung menggeleng kuat dan kembali berjalan tapi kembali berhenti saat melihat Ileana yang masih berdiri, ia mengucek matanya. Ileana yang memperhatikan itu semakin berpikir sepertinya memang benar atasannya ini memang gila seperti ucapan kebanyakan dari karyawan.
“Lo gila ya?” tanya Ileana tak tahan melihat tinggkah aneh Daniel.
Daniel yang sudah duduk di sofa dan akan berbaring langsung terbangun, duduk, dan menatap kaget ke arah Ileana.
“Astaga kenapa bisa gue bayangin Ile ada di rumah sih,” racau Daniel dan kembali terbaring.
“Wah beneran gila ternyata, kalo lo udah sadar mending lo balik deh!” kata Ileana mulai emosi.
Daniel membuka matanya, tubuhnya masih terbaring menatap lama Ileana, hingga membuat Ileana risih dengan tatapan Daniel, tapi setelahnya Daniel tersenyum lebar hingga membuat matanya menutup bagai bulan sabit.
“Jangan marah-marah terus, lo makin cantik tahu kalo lagi marah kaya gini,” dan berakhir dengan kekehan.
Ileana kehabisan kata-kata, tapi yang jelas saat ini ia sangat emosi dengan atasanya ini, rasa ingin menarik Daniel dan membawanya keluar membiarkan pemuda itu kedinginan di lorong sangat besar, tapi mengingat bagaimana beratnya tubuh Daniel, Ileanan urung dan membiarkan Daniel yang mulai tertidur.
“Walaupun ini cuma mimpi, tapi gue seneng lo dateng ke mimpi gue hehe, bahkan di dalam mimpi pun lo tetep marah-marah sama gue, nggak apa-apa gue lebih seneng liat lo marah-marah dari pada nangis,” itu racauan terakhir Daniel sebelum ia tertidur.
Ileana kembali ke kamar, ia menaruh selimut di meja kecil dekat sofa siapa tahu Daniel terbangun dan merasa kedinginan. Ia mengunci pintu kamarnya, dan beranjak menuju kasur. Beberapa kali Ileana mencoba untuk mengatur napasnya yang masih terbawa emosi, ingatkan gadis itu untuk melakukan perhitungan pada pemuda bongsor yang sedang tidur nyenyak di sofanya.