Minggu
Langit cerah di Minggu pagi menjadi penyemangat bagi Ginola yang pada hari itu memutuskan untuk berangkat latihan lebih awal. Sesuai arahan Rustam, mereka cukup berlatih di halaman sekolah yang sesungguhnya cukup luas. Setidaknya sampai pertandinan uji coba akhir pekan depan melawan Bhakti Pratama; hari yang ditargetkan Rustam untuk merebut kembali lapangan belakang sekolah. Tiba di sekolah, ia rupanya bukan orang pertama yang datang. Rustam dan manajer tim, Dinah, telah tiba lebih dahulu.
“Apakah surat sudah siap dikirim, Nona Manager?” tanya Rustam kepada Dinah yang tengah sibuk mencatat sesuatu.
“Sudah, Pak. Besok Hilman yang akan mengantarkan.”
Rustam mengangguk, kemudian menoleh karena menyadari kehadiran seseorang di belakangnya. Tampak sosok tegap berjaket hitam berjalan mendekat.
“Mana sepeda motormu?” Rustam sesungguhnya sudah tahu jawaban apa yang akan meluncur dari mulut Ginola, namun ia tetap bertanya.
“Saya lari ke sini.”
“Buang-buang tenaga,” olok Rustam sambil menahan tawa. Ginola mengerutkan dahi.
“Biasanya saya hanya berlari setengah lapangan. Kini saya harus berlari penuh dari ujung hingga ujung.”
“Begitu? Kalau begitu, tambah lagi lari keliling sekolah sampai semuanya datang,” perintah sang pelatih. Dinah tampak terkejut dengan instruksi tersebut. Namun Ginola yang berbasuh keringat itu justru tampak biasa saja. Tanpa berkomentar, ia lari lagi dengan kecepatan rendah yang konstan. Rustam mengulas senyum. Ia mengangguk lagi.
“Nona Manager,surat itu, jangan Hilman yang mengantarkannya. Biar aku saja.”
Senin
Cuaca mendung pagi itu seolah membuat ritme melambat di sekitar rumah kontrakan sempit tempat Rustam tinggal. Meski demikian, pria bertubuh tegap yang tak tampak seperti atlit yang pernah cidera serius itu menatap langit kelabu pekat dengan gembira. Rustam memang selalu suka mendung dan hujan. Bahkan semasa aktif bermain sepak bola, performanya seolah meningkat saat bertanding di tengah hujan. Mendadak lompatnya makin tinggi, napasnya kian panjang, dan tackle yang dilancarkannya berkali lipat lebih akurat hingga pemain lawan protes berkali-kali, memaksa wasit memberi peringatan karena geram dengan tingkah para pemain yang mengumpat sehabis kena sambar tungkai kekar milik Rustam. Senyum di wajah tegas itu kian lebar saat memori-memori menyenangkan melintas tak henti-henti di dalam kepalanya. Rustam hampir lupa dirinya harus bergegas mengantar surat ke SMA Bhakti Pratama. Ia juga nyaris lupa bahwa untuk menuju ke sana, ia harus naik angkutan umum, atau bersepeda. Di tengah nostalgia solo yang masih asyik ditelusurinya, Rustam memaksa diri untuk beranjak dari teras sempit, menuju kamar mandi yang jauh lebih sempit.