10 orang remaja SMA yang mengenakan jersey putih dengan aksen garis hitam di pundak kiri, dengan 1 lainnya mengenakan seragam merah berlengan panjang, menyebar di lapangan sepak bola sederhana itu. Beberapa di antara mereka melakukan pemanasan, yang lain sudah merasa cukup panas dan berdiri saja di sembarang titik. Pertandingan masih setengah jam lagi, namun mereka sudah tiba sejak satu jam lalu di lapangan yang berbatasan dengan gedung SMP negeri itu. Tampak paling gugup, adalah Ginola yang mengenakan nomor punggung baru di jersey putih miliknya. Ia pelan-pelan berusaha menerima nasip yang diatur oleh Pelatih Rustam: menjadi seorang pemain bertahan. Sekilas ia teringat kisah David Ginola, legenda Tottenham Hotspurs, yang tak begitu sukses menjadi penyerang usai insiden serangan balik yang diakibatkan oleh umpan kurang presisi monsieur Prancis itu. Ginola berpikir, mungkin ia sebaiknya menjadi bek saja daripada menerima warisan sang legenda malang, yang namanya disematkan secara permanen oleh sang ayahanda. Dengus napas keras remaja itu terdengar hingga membuat Fajar, penjaga gawang cadangan Sam Ratulangi FC, menoleh seraya terkekeh melihat mantan kapten itu gugup macam peserta audisi demam panggung.
“Santai Gin. Nanti lo terbiasa. Gue juga dulunya pemain sayap, waktu masih SMP. Torres juga dulunya kiper, terus pindah jadi penyerang tengah. Kadang perubahan malah membangunkan potensi dalam diri yang kita nggak sadari.”
Ginola tertegun mendengar ucapan kiper cadangan nomor punggung 23 itu. Ia kemudian menoleh saat Dinah berseru.
“Tim Bhakti Pratama sudah datang!”
Rustam yang sedari tadi bersantai di bawah pohon bangkit dari duduknya. Ia bergegas menghampiri Ginola, merogoh saku tanpa memperlambat langkah, lalu menyodorkan ban kapten kepada pemain nomor punggung 3 itu.
“Jika ada blunder, atau sampai kita kalah, kau tak akan jadi kapten lagi,” bisik Rustam seraya berlalu menghampiri pelatih tim lawan.
***