Sorot mata Ginola terpaku pada poster Filippo Inzaghi yang terbingkai rapid dan digantung pada salah satu sudut tembok kamar. Sudah lima menit anak muda itu duduk tak bergerak di atas kursi dan terpaku pandangannya, kosong, macam patung di museum Madame Tussauds. Ginola yang berkecamuk pikirannya setelah pertandingan pagi tadi, kini seolah mendengar Inzaghi dalam poster bonus tabloid sepak bola itu bicara kepadanya.
“Difensore, eh? Kau menikmatinya, bukan?” tanya Inzaghi kepada Ginola yang tercengang. Ia tak tahu harus merespon seperti apa, namun secara otomatis, anak muda itu mengangguk pelan meski batinnya bergejolak karena jauh dalam dirinya, ia masih haus mencetak banyak gol. Inzaghi menyeringai seperti yang biasa ia lakukan saat hendak mengelabui penjaga gawang lawan.
“il tuo allenatore è fantastic. Si Rustam itu macam bisa membaca isi kepala manusia. Beruntung kau dapat dilatih olehnya, karena pada dasarnya, sifat alamimu adalah pemain bertahan. Seperti kaptenku di Milan dulu.”
Ginola masih terus mengangguk seperti orang kena hipnotis. Ia kemudian melontarkan pengakuan yang membuat Inzaghi mengerutkan dahi, sebelum meledak tawa legenda AC Milan itu.
“Mister Inzaghi, sungguh saya mengidolakan anda. Bahkan impian menjadi seorang penyerang pun akibat final Liga Champions tahun 2007 silam,” ujar Ginola dengan amat polos. Inzaghi tertawa sampai menggigil dan bergetar punggungnya dari dalam poster murahan itu.
“Nak, tak soal siapa idolamu. Bahkan si Kutu Loncat Lionel Messi itu mengidolakan Paul Scholes. Apa dia harus pindah jadi centrocampo? Atau aku, yang diam-diam mengidolakan Kapten Maldini, harus aku jadi seperti dia? Tentu tidak. Maka, terimalah nasibmu menjadi difensore. Jadilah sehebat pelatihmu, lalu lampaui dia, namun jangan kau tiru bagian pensiun dini. Terus main sampai 40 tahun!”
Setelah kalimat penyemangat barusan, Inzaghi macam tersedot kembali ke dalam poster; kaku dan hanya menatap tajam dengan rahang terkatup rapat tanpa sedikit pun ada tanda-tanda kehidupan. Ginola tersentak. Ia rupanya tertidur di tengah lamunannya barusan. Namun mimpi barusan menjadi penyemangat baru dalam jiwanya yang gamang.
“Difensore, eh?”
***
Rustam baru saja menghabiskan makan siang yang terlambat hari itu setelah pertandingan uji coba pagi hari yang sangat mengesankan. Ia duduk di kursi kayu teras rumah kontrakannya, sibuk dengan ponsel sambil sesekali menyesap kopi hitam dalam cangkir transparan. Usai memeriksa notifikasi dari Dinah yang mengabarkan perihal daftar peserta turnamen sepak bola SMA, buru-buru Rustam mencari tahu tentang lawan-lawan tim asuhannya melalui situs resmi penyelenggara turnamen. Pria 34 tahun itu bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil bolpen dan kertas untuk mencatat analisisnya. Namun langkahnya terhenti saat layar dalam genggamannya menampilkan sebaris nama yang disertai getar kasar khas ponsel pabrikan Cina.
“Rosi?” gumam Rustam pelan, nyaris terkejut akibat tak menyangka akan menerima telepon dari kontak yang bahkan ia sendiri sudah lupa pernah menyimpannya. Rustam ragu, dan memutuskan untuk tak menjawab panggilan tersebut. Namun rupanya Rosi cukup gigih, ia menelepon sekali lagi, kali ini setelah sebuah pesan singkat yang masuk ke ponsel Rustam. Pria itu tetap pada pendiriannya untuk tak menjawab. Ditunggunya hingga getar menyebalkan dari ponsel itu berhenti, lalu ia buru-buru membuka pesan teks yang masuk. Sebuah tautan berita dengan judul mencengangkan. Bola mata Rustam membulat.
“Rustam Adrianto: sepak terjangnya sebagai bek tangguh dan nasibnya kini.” Rustam membaca judul berita itu dengan amat lirih sebelum membukanya. Situs itu merupakan portal berita olahraga nasional. Seseorang telah mengekspos kehidupan barunya sebagai coach.
Saat tengah membaca berita tersebut, panggilan telepon dari Rosi kembali membuyarkan fokus Rustam. Ia menyerah dan menjawabnya.