Minggu siang hari
Ruangan kantor itu amat rapi dan enak dipandang. Rak buku ukuran sedang dengan buku-buku berjajar sesuai ukuran memenuhi tiap barisannya, membentuk mozaik dengan kombinasi warna yang sesungguhnya tak begitu sinkron, namun justru terlihat amat cantik. Beberapa tanaman kaktus diposisikan dengan arah datangnya sinar matahari. Sementara sebuah meja kerja panjang berbahan kayu mahoni dengan segala macam perlengkapan di atasnya mulai dari komputer, telepon nirkabel, pelantang suara, satu set alat tulis dalam wadah menyerupai ember mini berbahan kayu, serta hiasan berbentuk hewan purba. Di belakang meja tersebut, duduk seorang pria yang diapit oleh meja lain di belakangnya, yang berisi mesin cetak, dispenser air minum, serta lemari pendingin kecil. Ia sendirian saja di ruangan hening itu. Bahkan bunyi air conditioner yang begitu halus nyaris tak terdengar. Di tengah ketenangan yang membius itu, pria tadi mengangkat telepon nirkabel, menekan kombinasi nomor yang kemudian segera ia hubungi. Mata pria itu lurus menatap layar di hadapannya.
“Sepertinya indikasinya memang mengarah ke sana, dan lagi, rumor tentang sang legenda yang terlalu cepat pensiun itu benar adanya.”
Ia menunggu respon lawan bicaranya, kemudian mengangguk.
“Baik. Kita tidak boleh membiarkan hal semacam ini masuk dan mengontaminasi jiwa-jiwa muda yang masih idealis itu. Kita akan bantu mereka dari balik layar. Jadikan saya sponsor utama.”
Ia kembali menyimak, lalu mengangguk lebih dalam.
“Baik. Saya kenal dengan si Pembina Klub. Beliau adalah mantan guru saya.”
***
Senin, Pukul 5:00 pagi
Rustam berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk terkait perbincangannya dengan Rosi tempo hari, juga rapat dadakan malamnya dengan para pemain Sam Ratulangi FC. Demi menimbun kecemasan dan juga pikiran negatif, pelatih itu menulis skema permainan hingga berlembar-lembar. Sudah delapan tim dianalisis, dan puluhan diagram permainan dibuat oleh Rustam, namun pikiran buruk seputar potensi campur tangan mafia-mafia dalam turnamen sepak bola tingkat SMA tak kunjung usai mengusiknya. Rustam sadar dirinya terlalu naïf untuk mengenyahkan gangguan-gangguan dalam kepalanya semudah ia melupakan lamaran kerja yang ditolak atau kegagalan dalam suatu pertandingan. Ikut serta dalam turnamen yang dikendalikan oleh mafia sama saja terjun ke dalam kuali berisi minyak mendidih, bunuh diri secara karir. Karena kemungkinannya adalah: dicurangi dengan dibuat kalah tersuruk-suruk, atau jika menang, difitnah habis-habisan sebagai oknum oleh para mafia tersebut. Sabotase semacam ini membuatnya bergidik ngeri, sama ngerinya saat ia harus menanggung derita pensiun terlalu cepat sebagai pemain sepak bola. Rustam gamang. Ia terkejut dan tersentak dari lamunannya ketika ponsel berdering. Sebaris nama muncul pada layar usang itu.
“Pak Joko?”
***
SMAN Sam Ratulangi, Senin pagi
Yang paling gusar sekaligus cemas akibat perbincangan seputar konspirasi skenario turnamen yang telah diatur sedemikian rupa oleh oknum tak bertanggung jawab tadi malam adalah Dinah. Gadis itu tak tidur barang semenit pun sejak sambungan panggilan video diputus. Ia sibuk browsing melalui internet, menelpon Ginola dan beberapa rekan di klub, lalu browsing lagi perkara pengaturan skor, penyogokan wasit, hingga kasus suap penyelenggara turnamen sejak zaman Piala Dunia baru digelar sebanyak tiga kali, hingga kini. Akibat dari riset mendalam yang tak lazim dilakukan oleh remaja SMA kelas 11 itu, badan Dinah panas dingin sepanjang malam, kepalanya pening dan matanya tak mengantuk sama sekali. Hasilnya adalah wajah manisnya yang luntur berganti dengan sosok pucat, tampak lebih tua beberapa tahun; Dinah seperti mahasiswi jurusan Teknik Arsitektur yang lembur berhari-hari demi mengerjakan skripsi. Rambutnya diikat sembaranan sementara ia sepertinya lupa mencuci muka hingga wajahnya tampak licin berminyak padahal masih pukul 10 pagi. Kardi yang melihat kawan sekelas sekaligus manajer klubnya macam habis kena remedial ujian fisika setelah gagal berkali-kali itu berinisiatif untuk menghampiri namun Dinah malah beranjak. Sepertinya gadis itu enggan ditanya-tanya. Kardi maklum, ia lalu kembali sibuk dengan komiknya.
Sementara si manajer sedang dilanda perasaan emosional tak karuan, Ginola sang Kapten malah seperti tak ingat apa-apa seputar perbincangan mengkhawatirkan malam sebelumnya. Yang ia pikirkan hanya turnamen dan bagaimana agar dirinya dapat tampil sebaik mungkin. Remaja itu masih terlalu naïf untuk memahami apa yang sebenarnya dikhawatirkan oleh orang-orang. Kini ia sibuk melakukan juggling di lapangan belakang, mengisi waktu istirahat yang tersisa tak lebih dari enam menit lagi.
“Gin,” panggil suara yang amat familiar itu dengan cukup keras. Ginola serta merta menoleh, menghentikan atraksinya dengan bola kumal yang entah telah berapa tahun usianya, mendapati Rustam yang berdiri dengan raut wajah tak tertebak.
“Kita akan melakukan latihan khusus mulai dari hari Rabu sampai Sabtu. Seluruh anggota tim telah diberi izin oleh pihak sekolah.”