The Playmaking Defender

Fajar R
Chapter #17

Fixture 16

Bagi Rustam, mempelajari setiap individu hingga ke hal – hal kecil merupakan hal yang sangat penting. Seringkali para pemain, bahkan Dinah sang Manajer klub, menerima pertanyaan tak terduga seputar kebiasaan mereka sebelum bertanding, makanan favorit, hingga jenis film yang biasa mereka tonton di waktu luang. Tak sampai di situ, sebagai pelatih, seringkali Rustam meminta Dinah untuk mengumpulkan informasi terkait lawan – lawan yang pernah dihadapi oleh Sam Ratulangi FC, terutama pada masa sebelum dirinya datang sebagai pelatih. Permintaan ini terkadang dibumbui dengan elemen – elemen spionase seperti harus dilakukan secara rahasia, atau melibatkan pihak ketiga yang biasanya berasal dari sekolah lain. Perilaku mirip undercover police yang dimiliki Rustam ini dianggap beberapa pemain sebagai tindakan observasi bersifat preventif yang tujuannya adalah mencegah kemungkinan – kemungkinan tak diinginkan. Secara internal, upaya Rustam mengenal tiap anggota secara mendalam merupakan wujud menghindari kesalahpahaman, ketidaktahuan dan potensi renggangnya jarak akibat kurang informasi antara pelatih dan pemain. Sementara tindakan menggali informasi tentang tim lawan secara diam – diam merupakan hal lumrah yang tujuan utamanya adalah mencari – cari kelemahan lawan. Setidaknya begitu analisis beberapa pemain yang tertuang dalam diskusi mereka di tengah perjalanan menuju kamp pelatihan sementara Rustam terlelap setelah memberikan salam pembuka sebelum bus berangkat tadi.

“Kalo emang begitu, masa Pak Pelatih mau ngelewatin pertandingan pembuka hari Senin nanti dan malah nyuruh kita latihan sampe giliran kita tanding hari Jum’at minggu depan? Harusnya dia…” Kalimat dari salah seorang pemain yang berusaha menekan suaranya serendah mungkin itu tak selesai karena mendengar suara berdeham keras dari arah depan. Rustam bangun, dan bangkit perlahan.

“Saya sudah kirim anak klub fotografi untuk mengintai pertandingan pertama, video akan dikirim selama kalian latihan. Ada pertanyaan lain?” timpal Sang Pelatih. Dinah bergidik menahan tawa.

“Siap, Coach,” pekik seisi bus dengan lantang. Keraguan mereka semakin sirna. Rustam sepertinya memang ditakdirkan untuk membawa tim itu ke level yang lebih tinggi.

***

“Bus mereka sudah memasuki kawasan Gunung Betung, dan dalam waktu sekitar 15 menit akan tiba di lokasi latihan khusus yang ditentukan oleh si Pelatih,” ujar sosok di balik kemudi Honda Civic keluaran 2009 itu. Ia kemudian menyimak dengan saksama setiap ujaran yang dilontarkan lawan bicaranya, mengangguk pelan sebelum akhirnya kembali menyalakan mesin kendaraan.

“Baik. Mata-mata akan tiba dalam 10 menit, kan? Saya tunggu sampai mereka datang.”

***

Bus yang mengangkut Tim Sepak Bola Sam Ratulangi mogok tepat 1 kilometer dari gerbang utama Taman Hutan Raya, tempat mereka akan melaksanakan latihan selama kurang lebih lima hari ke depan. Beberapa pemain terdengar saling bisik dan bergumam. Ginola memperhatikan gelagat tak nyaman yang mulai menyelimuti seisi bus, ia kemudian bangkit dari duduknya, maju ke depan, dan berunding dengan supir. Pak Supir memberi mikrofon yang diminta oleh Ginola. Belum mulai bicara, seisi bus sudah hening, siap mendengarkan sang Kapten.

“Kita dorong busnya sampai ke lokasi latihan. Yang nggak setuju, boleh pulang sekarang juga. Gue telpon Mas Yanto supir sekolah untuk jemput kalian di sini.”

Mikrofon kembali diserahkan kepada Pak Supir yang tersenyum tipis kepada Ginola. Para pemain masih bergeming di tempat duduknya masing-masing sementara Ginola, kapten mereka telah turun. Roni melonjak dari tempat duduknya seraya berteriak lantang.

“KALIAN NGGAK DENGAR APA KATA KAPTEN?! DORONG!”

Riuh sorak para pemain dimulai dari Ruizola dan Ramdan yang ikut berteriak lantang sambilmenghambur keluar bus, kemudian disusul seisi bus yang turun termasuk Rustam dan Dinah yang menyusul paling akhir. Pelatih itu tersenyum melihat sikap Ginola.

“Begitulah seharusnya mental seorang kapten.”

***

Pahoman, SMA Negeri Gatot Subroto

Fandi tak dapat berkonsentrasi pada pelajaran Matematika siang itu. Turnamen dimulai hari Senin, dan pertandingan pertama sekolahnya langsung menghadapi SMA Sam Ratulangi pada hari Jum’at sore. Ia ingin berlatih. Ia tak bisa menerima input apa pun selain sepak bola, setidaknya sampai turnamen selesai. Di tengah lamunanya tentang Stadion Sumpah Pemuda, lapangan latihan sekolahnya, dan juga tim-tim yang menjadi lawannya dalam turnamen, hardik keras Bu Ratri, guru Matematika, membuat Fandi terlonjak.

“FANDI!”

“S-Saya, Bu?”

Lihat selengkapnya