Pemandangan dari lantai tiga gedung sekolah swasta itu menghanyutkan Raffa yang baru saja selesai berlatih dan memutuskan untuk menyendiri sejenak. Bayangan tentang lawan-lawannya di turnamen nanti memenuhi seisi kepala hingga tak ada lagi ruang tersisa untuk hal lain singgah sejenak mengganggu pikirannya.
“Heh, jangan suka mojok sendirian. Nanti kesambet terus lu lompat dah dari sana.”
Raffa seketika menoleh dengan gestur sedikit terkejut, mendapati Darius rekan setimnya berdiri di ambang pintu. Bek tengah Klub Sepak Bola Darma Budaya itu kemudian berjalan mendekati sang Ace-striker.
“Mikirin apa, lu? Bagi-bagi lah,” pancing Darius seraya duduk di salah satu meja tak jauh dari Raffa.
“Sam Ratulangi lagi latihan khusus, ya?”
Darius menahan tawa karena ia sebenarnya sudah menebak isi kepala Raffa tak akan jauh-jauh dari turnamen, tim lawan, dan bagaimana caranya menjadi penyerang tengah yang lebih baik dari hari kemarin.
“Iya. Kabarnya mereka berangkat tadi pagi ke Tahura Wan Abdurrahman. Gue dikasih tahu sepupu gue,” jawab Darius.
“Kita kayaknya perlu juga, deh. Nggak ada yang mau ngomong ke pelatih?” Ada sedikit kegelisahan dalam nada bicara Raffa. Darius tak kuasa untuk menahan tawa.
“Insecure banget sih lu?! Santai Raf, kita latihan tiap hari, dan udah bertahun-tahun begini. Bahkan alumni dan senior bantuin latihan kita. Sparing seminggu bisa tiga sampe empat kali. Menurut gue, itu udah setara dengan latihan khususnya Kapten Tsubasa, bahkan lebih. Chill, Bro.”
“Lu udah lihat video pertandingan mereka, kan? Ginola…” Belum selesai Raffa bicara, Darius memberi isyarat untuk memotong.
“Ya. Dia jadi bek. Mainnya macam Beckenbauer masih muda, dengan keberanian Paolo Maldini dan kecepatan seorang striker yang belum luntur karena dia tadinya emang striker. Tapi sebagai sesama pemain bertahan, dia masih punya celah yang sangat besar. Lu pasti juga sadar, kan?”
“Justru itu. Kayaknya pelatih mereka juga sadar,” timpal Raffa. Keduanya kemudian terdiam.
“Oke. Ayo one on one di halaman belakang.”
***
Risman dengan serius mengetik berbaris-baris kalimat yang ia rangkai untuk menarasikan turnamen sepak bola tingkat SMA yang akan segera dimulai. Batas waktu pengunggahan artikel tinggal satu jam. Ia sebenarnya sudah kurang fokus akibat kabar yang diterimanya terkait perkembangan Tim Sam Ratulangi. Rasanya ingin bergegas berangkat untuk mewawancarai pembina klub perihal sponsorship yang baru saja mereka terima, dan juga tentang latihan khusus dadakan yang diagendakan oleh Coach Rustam.
“Setelah bertahun-tahun tidak ada satu lembaga pun yang mau menjadi sponsor, tiba-tiba dipinang oleh salah satu perusahaan telekomunikasi yang cukup besar adalah hal luar biasa untuk tim kuda hitam seperti Sam Ratulangi.” Risman setengah berbisik pada dirinya sendiri. Ia meningkatkan kecepatan mengetiknya, menutup artikel itu dengan kesimpulan yang menggantung demi membuat pembaca penasaran.
***
Tahura Wan Aburrahman
Pertanyaan sederhana Rustam tentang visi bermain rupanya sukses membuat suasana di taman hutan raya itu senyap. Kini kicau burung, desau angin, derik jangkrik dan sesekali sayu kerih sekumpulan monyet menguasai, menggantikan riuh gumam para pemain yang tadi amat bersemangat bercampur risau dengan agenda latihan khusus.
“Nggak ada yang jawab? Lagi mikir? Kalau ini pertandingan, kalian udah kebobolan,” cecar Rustam dengan nada sinis. Ginola mengangkat tangannya.
“Ya, kapten. Apa visi bermainmu sebagai bagian dari tim?”
Ginola menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan melalui hidung sebelum mulai bicara.
“Untuk visi jangka pendek, mengingat turnamen ini menggunakan sistem gugur tanpa adanya agregat laga kandang-tandang, maka yang saya pikirkan adalah bertahan di dalam turnamen bagaimana pun caranya. Dengan kata lain, kita nggak boleh kalah.” Ginola mengehentikan paparannya sejenak, menunggu jika ada rekan, atau Rustam sang Pelatih sendiri, hendak berkomentar.
Dia realistis. Perasaan Rustam berbisik kepada otaknya yang logis. Rupanya perasaan pelatih itu juga telah dikuasai logika.