Rosi tercenung di hadapan laptop-nya. Mencoba mengambil kesimpulan dari observasi dan analisis yang ia lakukan selama beberapa hari terakhir.
“Apa sih maunya mereka sampai harus mengusik remaja-remaja SMA yang bahkan belum paham banyak hal tentang kehidupan profesional?” gumam gadis itu; bertanya kepada dirinya sendiri. Ia bisa mengerti jika mafia-mafia olahraga seperti para bangsat itu punya ribuan alasan dan motif untuk melancarkan aksi gila macam pengaturan skor, hingga menentukan siapa juara dari suatu turnamen bahkan sebelum upacara pembukaan dilaksanakan. Yang ia tak mengerti adalah: kenapa harus tingkat SMA? Beragam probabilitas bergentayangan di kepalanya, namun tetap saja menurut Rosi, tak satu pun bisa diterima oleh akal sehatnya.
Ia lalu mengalihkan pikirannya kepada kabar terbaru terkait Rustam dan timnya yang baru saja mendapat sponsor, bahkan didanai untuk melakukan latihan khusus demi mengoptimalkan performa dalam turnamen mendatang. Gadis itu lalu kembali sibuk membuat diagram runyam yang berisi analisis baru, setelah ia memasukan variable Rustam dan petualangannya sebagai pelatih.
“Mungkinkah?” bisiknya.
***
Taman Hutan Raya Wan Abdurahman
Fandi tercengang dengan pemandangan di hadapannya. Para pemain Sam Ratulangi FC tampak seperti tengah menjalani siksaan daripada latihan. Tanah lapang di hadapannya dipenuhi setidaknya sembilan orang yang berlari menggunakan sabuk pemberat di bagian kaki. Ia menoleh ke belakang, tempat Rustam duduk mengawasi, lalu buru-buru buang muka karena takut bertemu mata dengan pelatih itu. Dinah di sampingnya juga terkejut, namun si Manajer klub itu dapat menyembunyikan ekspresinya.
“Ngapain mereka?” bisik Fandi, tanpa tahu kepada siapa pertanyaan itu ia lontarkan.
“Saya melakukan observasi selama beberapa minggu melalui video-video pertandingan dan juga pengamatan langsung. Salah satu titik lemah paling fatal yang dimiliki oleh mayoritas anggota tim ini adalah daya tahan mereka yang masih cukup jauh dari kata layak. Meski berhasil menang saat pertandingan uji coba beberapa waktu lalu, tapi sudah sangat jelas jika mereka kelelahan secara tidak wajar begitu pertandingan selesai. Ini tidak bisa dibiarkan. Berlari di sekitar gunung dengan udara tipis begini dapat membantu mereka.”
Fandi merinding karena dua alasan. Pertama, sifat disiplin dan latihan keras yang diterapkan Rustam, kedua, kenyataan bahwa si Pelatih tim lawannya itu terang-terangan membeberkan rahasia latihan anak – anak asuhnya dengan amat tenang, tanpa sedikit pun takut diketahui rahasianya.
“Ini bukan latihan rahasia. Ini latihan khusus,” ujar Rustam seolah membaca isi kepala Fandi. Anak muda itu makin gemetar dibuatnya. Sementara Ginola yang tak termasuk dalam rombongan pelari dengan pemberat, menatap Fandi dari tepi tanah lapang sambil terus melakukan perenggangan otot, bersiap untuk sesi berikutnya.
***
“Semasa aktif bermain, Rustam adalah sosok atlit yang gigih. Baik saat bertanding, dan juga saat berlatih.” Risman membaca kutipan dari salah satu artikel yang ditemukannya di internet. Penulisnya merupakan seseorang bernama Rosi. Risman tak yakin apakah nama itu asli, atau nama pena, namun ia tak terlalu peduli. Yang jadi perhatiannya adalah artikel tentang Rustam Adrianto, ditulis dengan gaya bahasa seolah si Penulis ini mengenal sosok legendaris dunia sepak bola itu secara pribadi.
“Siapa dia ini?” gumam Risman. Ia lalu berpindah ke artikel lain, mencatat beberapa hal untuk dijadikan referensi tulisan berikutnya seputar kompetisi yang akan segera dimulai. Mendadak pikirannya kembali terusik dengan rumor terkait oknum – oknum yang berkemungkinan mengendalikan jalannya turnamen dengan cara kotor demi mencapai tujuan – tujuan beberapa pihak yang masih sangat samar motif utamanya. Risman seketika berhenti mencatat, memijit pelipis dan dahinya. Mendadak jurnalis itu pening.
***