Ahmad Sodikin namanya. Ia telah empat tahun menjabat sebagai pelatih kepala Tim Sepak Bola SMA Negeri Amir Hamzah. Perawakannya tinggi dengan raut wajah jenaka meski kumis dan janggut lebat memenuhi bagian bawah wajahnya. Kepala pria berusia 40 tahun itu dipenuhi uban di kedua sisinya. Komposisi warna rambutnya itu macam tokoh fiktif pentolan Fantastic Four, Tuan Reed Richards. Sodikin dapat dianggap sebagai pelatih jenius. Di bawah asuhannya, Tim Sepak Bola SMA Negeri Amir Hamzah telah meraih tiga trofi juara, satu di antaranya turnamen nasional. Sore itu, seperti biasa, ia mengawasi anak – anak asuhnya berlatih. Dibalik kepiawaiannya melatih, dan juga wajahnya yang sebenarnya teduh, Sodikin amat tegas dan disiplin. Nasibnya Sodikin agak kurang diperhatikan sejak Pembina klub, Tajidin, mendadak berubah sikap sejak berkenalan dengan pejabat – pejabat tinggi dan pengusaha yang mendanai klub secara royal, bahkan terkesan berlebihan untuk ukuran klub sepak bola tingkat SMA. Ada rumor yang mengatakan bahwa turnamen kali ini adalah yang terakhir baginya, terlepas dari juara atau tidaknya tim itu.
“Yak, istirahat sepuluh menit!” teriak sang pelatih setelah meniup peluit tanda berakhirnya sparing sore itu. Para pemain segera berkumpul di tepi lapangan. SMA Amir Hamzah adalah tim sepak bola tingkat SMA dengan kekuatan pertahanan terbaik sejak dua tahun terakhir. Para pemainnya dapat bekerja sama dengan baik, dan memiliki ketahanan fisik di atas rata –rata. Posisi pemain terbaik dalam tim dipegang oleh si nomor punggung 6, Tantra. Dia adalah kapten sekaligus gelandang bertahan dari kelas 12 IPS yang menolak pensiun dan mengorbankan waktu belajar tambahan demi terus membimbing para juniornya agar tetap konsisten berada di jalur juara.
“Saya dengar Sam Ratulangi melakukan latihan khusus.” Sodikin berujar pelan saat semua anak asuhnya telah berkumpul. Mereka semua menyimak sang pelatih.
“Benar, Coach. Mereka latihan di Tahura, dan sepertinya mereka mengundang para aluminya.”
“Oh ya? Dari mana kamu tahu, Tra?”
“Coach lupa? Salah satu alumni Sam Ratulangi adalah sepupu saya.”
Beberapa hari sebelumnya
Selain meramu rezim latihan khusus demi menempa fisik dan teknik para anak asuhnya, terlintas di benak Rustam untuk memberi shock therapy sekaligus penguatan psikologis agar para pemain amatir itu lebih siap tak hanya secara keterampilan bermain, namun juga secara sikap, dan juga mental sebagai atlit. Atas dasar itu, mantan pemain profesional itu memutuskan untuk memakai cara klasik yang dahulu sering diterapkan pelatihnya. Atas izin Pembina klub, dan dengan bantuan manajer, Rustam menghubungi para alumni Sam Ratulangi, dan salah seorang kawan lama.
“Selama tidak menimbulkan cedera, lakukan apa saja yang diperlukan untuk menempa fisik, dan mental mereka.” Rustam menutup percakapan sore itu dengan pernyataan yang menggambarkan kedisiplinan serta sifat kerasnya sebagai seorang pelatih. Pria di hadapannya paham, lalu mengangguk mantap.
***
Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman
Seketika para pemain seperti menghadapi alter ego yang menjadi musuh alami mereka sendiri. Jika Ginola dipaksa menghadapi Novan, mantan striker berbakat penyebab sang kapten mati-matian berjuang untuk bermain pada posisi ujung tombak sebelum Coach Rustam memutasinya ke barisan pertahanan, maka Roni harus berjuang melewati Togrul, alumni seangkatan Novan yang berposisi sebagai gelandang bertahan dengan kemampuan fisik setara tiga orang dewasa. Selain mereka berdua, pemain-pemain lain menghadapi musuh-musuh dari kalangan para alumni yang muncul macam hantu di hadapan mereka; ada Hamdi, mantan fullback berkecepatan tinggi, hingga Ryo yang terkenal dengan tipu muslihat kaki gesitnya saat merebut bola. Kehadiran para senior yang telah lulus itu memaksa seluruh anggota tim mengerahkan kemampuan terbaik mereka sebab Rustam kembali menghardik, membuat Fandi yang sibuk merekam kaget hingga bergidik.
“YANG GAGAL MELEWATI PARA SENIOR, TIDAK MENDAPAT JATAH MAKANAN MATANG! KALIAN AKAN MAKAN SAYUR MENTAH DAN TELUR MENTAH!”
Bagi sebagian pemain, ancaman Rustam berhasil membuat mereka bergidik ngeri, sementara Ginola dan beberapa penopang utama Tim Sam Ratulangi tak peduli dengan makanan. Yang mereka pikirkan adalah harga diri mereka sebagai atlit.
“Gue nggak akan kalah dari pensiunan,” bisik Ginola dengan seringai penuh percaya diri. Sementara Novan di depannya tak gentar sama sekali. Tak jauh dari medan tempur para pemain utama melawan senior-senior mereka, Fandi yang masih memegang kamera secara terang-terangan atas izin Coach Rustam tak berkedip menyaksikan duel antara Ginola dan Novan. Dari pandangan kapten Tim Gatot Subroto itu, Ginola seperti kerasukan Nemanja Vidic sementara Novan adalah Zlatan Ibrahimovic yang tak terima melihat bola berada di bawah kendali pemain bertahan lawan.
“Heh, jangan lengah, Gin.”
Keputusan bijak oleh Fandi yang menolak berkedip karena tak sampai satu detik setelah imajinasi dan skenario Vidic versus Ibrahimovic tertanam di benaknya, Novan melancarkan gerakan agresif dengan berakselerasi, kemudian mengait bola yang berada di kaki kanan bagian dalam Ginola. Sang kapten Sam Ratulangi menyadari serangan dari seniornya, dan berkelit secepat antelop mengelak dari terkaman singa.
“Pensiun dengan tenang, Bang,” balas Ginola sambil menggulirkan bola ke belakang menggunakan telapak kaki lalu mengangkatnya dengan tumit hingga bola melayang tinggi di atas kepala Novan. Sang senior tersenyum, antara mengejek karena sudah membaca gerakan tersebut, atau kagum dengan juniornya.