Enam tahun lalu
Peluit tanda berakhirnya pertandingan masih terngiang di telinga Rodi. Medali perak yang menandakan prestasinya hari itu justru menjadi beban. Ditatapnya dengan nanar benda bulat yang tertaut di leher itu. Seketika leher anak muda bernomor punggung 10 itu terasa berat macam digantungi bongkahan besi. Rodi menunduk tanpa dapat menggerakan kepalanya. Tahun terakhir di klub sepak bola, dan ia kembali gagal membawa tim kebanggan sekolah itu meraih juara.
“Kau sudah melakukan yang terbaik.”
Suara berat lirih disertai tepuk lembut di pundak kanan dari Coach Ujang tak mampu menghilangkan kaku di leher Rodi.
“Saya hanya ingin menang sekali saja seumur hidup.”
“Kejarlah karir profesional jika sepak bola memang tujuan hidupmu, Rodi.”
Anak muda itu menggeleng.
“Saya ingin menang dengan sekolah ini.”
Coach Ujang tidak melanjutkan nasihatnya. Ia menepuk pundak pemain andalannya itu sekali lagi dengan lebih keras, seolah memberi kekuatan dan isyarat.
***
Jeda libur tahun ajaran baru, 2014
“Tim ini butuh pelatih yang sangat mengenal sejarah dan juga visi bermain, dan saya adalah orangnya,” ujar Rodi, nyaris dengan nada tinggi akibat kegusaran yang hampir membuncah. Ia masih tak mampu melunturkan raut ragu di wajah Pak Joko selaku wakil kepala sekolah, sekaligus Pembina klub sepak bola yang baru.
“Untuk saat ini, kami membutuhkan orang dengan pengalaman profesional yang memadai. Saya tidak meragukan kapasitas Anda, namun sepak terjang Anda sebagai pemain hanya sampai di tingkat SMA, dan malah sibuk melatih tim sepak bola SMP sambil kuliah di bidang Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Mohon maaf, tapi tim ini membutuhkan lebih dari sekadar guru Penjaskes.”
Wajah Rodi merah akibat menahan marah bercampur malu. Kredibilitas dan loyalitasnya diragukan oleh tim yang dulu ia bela. Jiwanya seperti berteriak tak terima namun kerongkongan calon guru olahraga itu macam disumpal oleh pernyataan Pak Joko barusan hingga ia memilih bungkam dan hanya melayangkan satu patah kata sebelum undur diri.
“Permisi.”
Seketika itu juga, Rodi berbalik badan dan tak pernah lagi tampak batang hidungnya di sekitar sekolah yang sempat membesarkan namanya sebagai pemain sepak bola idola di tingkat SMA. Sejak saat itu, ia menyimpan perasaan kecewa yang dirinya sendiri tak paham.
***
Taman Hutan Raya Wan Abdurahman
Jingga dengan sentuhan merah jambu perlahan berganti dengan biru pekat. Beberapa bintang tampak berpendar dari arah barat, diikuti seruan samar pelantang suara masjid, menyebarkan panggilan untuk beristirahat sejenak dari segala urusan dunia dan bergegas melakukan dialog dengan Tuhan. Di bawah salah satu pohon paling besar, tampak Novan berdiri dengan bola di bawah kakinya, sementara Ginola berdiri gamang setelah gagal melewati seniornya itu. Para pemain yang lain ada yang tersungkur, dan mendadak terduduk setelah tunduk di hadapan para alumni.