Setelah bergidik membayangkan rezim latihan gila yang akan mereka hadapi, kini Ginola dan kawan-kawannya harus meneremia konsekuensi kalah pada permainan adu teknik serta kekuatan melawan para alumni klub. Mereka harus rela makan sayuran organik mentah yang telah dicuci bersih, serta sumber-sumber protein nabati yang hanya dikukus setengah matang guna mempertahankan kandungan nutrisi.
Roni yang paling pemilih dalam hal makanan mendadak mual saat hendak mengunyah tempe kukus. Sangat bertolak belakang dengan si penyerang, Ramdan, bek berbadan besar tandem Ginola di lini pertahanan, justru dengan rakus melahap semua sajian di hadapannya, membuat beberapa orang heran. Ginola makan dengan lambat, ia saling lirik dengan Ruizola dan Dinah, memberi isyarat bingung akibat kedekatan tak lazim Rustam dan Rodi. Beberapa senior klub yang telah menjadi alumni SMA Sam Ratulangi tampak mengobrol dengan akrab sambil menikmati makan malam mereka. Tiba-tiba, semuanya dikejutkan dengan gerstur Rustam yang mendadak berdiri tegak.
“Waktu makan kalian tinggal 2 menit. Jika ada makanan tersisa, maka bersiap-siap menerima hukuman besok pagi. Setelah ini, latihan akan dilanjutkan dengan uji ketangkasan fisik, serta penguatan untuk tiap posisi. Rodi akan membantu kita semua dalam latihan kali ini.” Sosok yang disebut namanya oleh Rustam itu ikut bangkit, lalu mengangguk sambil tersenyum dengan ekspresi aneh. Dinah tak mengerti, namun ia menaruh curiga terhadap orang itu.
***
Beberapa hari sebelumnya
Sosok dengan outfit mahal dari ujung kaki hingga kepala itu menyalakan cerutu Kuba di hadapan Rodi yang sama sekali anti dengan segala macam jenis olahan tembakau. Pemuda itu mengerutkan dahi.
“Ada apa memanggil saya ke sini?”
“Kau ditolak mentah-mentah oleh si wakil kepala sekolah sombong itu, kan?”
Ditanya seperti itu, Rodi terdiam. Memang ia masih menyimpan kekecewaan yang amat besar kepada alma mater yang di dalamnya terdapat klub kebanggaannya semasa SMA dahulu.
“Apa urusanmu dengan itu?” Rodi melemparkan seringai tak bersahabat bersamaan dengan pertanyaannya barusan.
“Saya bisa membantumu membalas perlakuan tidak pantas mereka.”
Rodi kembali tertegun. Ia kemudian menunduk seperti tengah memikirkan sesuatu. Dari saku celananya, dapat ia rasakan ponsel bergetar singkat, tanda pesan masuk.
Pria di hadapan Rodi kini melontarkan seringai yang mengekspresikan seolah-olah ia telah berhasil menghasut lawan bicaranya.
“Baiklah. Apa yang harus saya lakukan?”
***
Jakarta
Sosok di balik meja kerja berbahan kayu jati pilihan itu menunggu sedari 30 menit lalu. Matanya mengintai pesawat telepon di salah satu sudut meja. Sesekali ia melirik ponselnya yang tergeletak tak jauh dari layar komputer. Tiba-tiba, gawai nirkabel dengan layar sentuh itu berdering, mengalahkan sepupu jauhnya yang masih bisu. Sosok di balik meja dengan sigap meraih benda persegi itu, kemudian buru-buru menekan ikon hijau pada layar. Nun dari seberang sambungan jarak jauh, terdengar suara berat yang cukup familiar di telinga sang pria.
“Kau kirim asisten? Buat apa?”
“Membantumu dalam urusan teknis, dan non-teknis,” jawab pria itu dengan tenang. Ia kemudian menghela napas sebelum melanjutkan penjelasannya.