Raut wajah angkuh disertai hunus tajam sepasang mata dengan pupil hitam seolah menohok sekelompok pemuda yang tampak kelelahan. Si pemilik tampang arogan tanpa ampun mengayunkan kaki kirinya tepat pada poros tengah bola sepak berwarna putih hingga benda bundar itu melesat dalam wujud abstrak saking besar gaya yang dijejalkan kepadanya. Rahang anak muda berwajah muram nan sombong itu mengeras, ia tak sabar melihat bola yang telah menjelma menjadi amunisi meriam itu menghantam target. Si target, beserta kelompoknya, yang tahu betapa mengerikan tendangan itu hanya bisa pasrah akibat kehabisan tenaga setelah gagal dalam upaya mengalahkan anak muda arogan tersebut dalam duel dribble satu lawan banyak.
Pimpinan kelompok itu memejamkan mata, menahan malu akibat gagal menghadapi satu orang meski ia sudah datang dengan kekuatan penuh. Ia siap menerima tendangan kanon, namun bola tak pernah mengenainya. Alih-alih, ia merasakan embus angin disertai suara bola yang menabrak permukaan berbatu, seolah berhasil ditahan oleh sesuatu.
“Mohon maaf, Raff. Boris memang keterlaluan,” ujar suara itu dengan amat tenang. Semua, kecuali Borris yang sengaja memejamkan mata, menyaksikan bagaimana pemuda yang baru saja bicara beratraksi menangkap canon- ball hasil tendangan keras Daffa dengan teknik tak terbayangkan.
“Ali,” bisik Raffa yang tetap berusaha tenang meski maneuver mengerikan dari Ali barusan membuatnya nyaris terbelalak. Ia sendiri sudah amat terkuras secara fisik maupun mental setelah menghadapi kelompok pimpinan Boris.
“Untuk orang yang tenaganya udah abis, tendangan barusan emang nggak masuk akal sama sekali. Dan untuk orang yang dateng beramai-ramai buat melawan satu orang doing, kekalahan lo juga nggak masuk akal, Bor.” Ali menoleh sedikit tanpa berbalik badan kepada Boris yang baru saja membuka mata dan melihat sosok tinggi memunggunginya. Raffa masih pada posisinya berdiri, meski seluruh tubuhnya seakan mencapai batas dan dapat roboh kapan saja.
“Silakan lewat, Raff. Maafin kelakuan mereka, ya,” ujar Ali seraya memberi isyarat agar Raffa dapat berlalu meninggalkan mereka semua di sana. Di saat yang bersamaan, seluruh anak mudah di bawah komando Boris tadi menurut dan memberi jalan sambil menunduk dalam-dalam. Sementara itu, senyum Ali tak pudar sama sekali. Bola berada di dalam genggamannya.
***
Dini hari
Udara dingin menusuk hingga membuat ngilu persendian Rustam yang terjaga sejak 15 menit yang lalu. Pria itu menatap tajam seolah hendak menerobos kegelapan hutan di hadapannya. Sesekali ia mendongak, membiarkan kedua netra dengan pupil hitam legam itu menyorot bintang gemintang di langit yang tak begitu banyak terlihat akibat terhalang awan keunguan.
Sesaat Rustam teringat bagaimana ia memutuskan untuk lari dari luka masa lalunya hingga akhirnya menetap di Bandarlampung, dan malah kembali tertaut dengan sumber utama luka itu sendiri: sepak bola. Pelatih amatir itu tersenyum getir, lalu memeriksa ponselnya untuk melihat bagan turnamen sepak bola antar sekolah untuk ke sekian kali. Rustam dengan kemampuan analisis probabilitasnya yang terbatas menghitung-hitung peluang mereka lolos hingga semifinal, sambil memperkirakan siapa lawan-lawan berikutnya setelah SMA Gatot Subroto, jika mereka bisa menang dan lolos dari sistem knock-out yang mengerikan hasil rancangan panitia turnamen yang tak berperasaan.
“Seharusnya mereka dibagi ke dalam 8 grup, ya, Coach?”
Pertanyaan Rodi membuyarkan konsentrasi Rustam, pelatih itu menoleh dengan senyum masih terbersit di wajahnya.