Jika ada tim dengan kedalaman skuad yang tidak perlu diragukan hingga mampu bermain dengan berbagai alternative skema formasi, maka tim itu adalah SMA Negeri Gatot Subroto yang akan menjadi lawan pertama Ginola dan kawan-kawannya. Pelatih kepala mereka, Rozak Muzaki merupakan mantan pelatih salah satu tim di divisi utama Liga Nasional pada awal tahun 2000-an. Selepas pensiun total dari dunia sepak bola profesional pada 2009, ia tak bisa sepenuhnya meninggalkan dunia yang memberinya makna untuk hidup. Setahun kemudian, setelah masa istirahat yang membosankan, Rozak memutuskan untuk melatih anak-anak muda di sepak bola SMA, saat akhirnya takdir mempertemukannya dengan tim sepak bola SMA Negeri Gatot Subroto. Sejak saat itu, Rozak dan para anak asuhnya menjadi salah satu kekuatan yang cukup ditakuti berkat rotasi skuad yang dinamis dan permainan ciamik hasil pemikiran jenius sang pelatih. Belum pernah dalam catatan rekor kepelatihan Rozak Muzaki di tingkat sepak bola SMA, ia kalah pada pertandingan pertama setiap turnamen. Semua laga pembuka selalu dimenangkannya. Namun kali ini, pria paruh baya itu agak ragu setelah menyaksikan cuplikan pertandingan uji coba lawan pertama anak-anaknya di turnamen tingkat provinsi nanti.
“Rustam adalah pribadi yang menarik dan berbahaya,” gumamnya kepada Fandi yang duduk di hadapan sang pelatih sejak setengah jam lalu, di tengah-tengah kantin sekolah yang ramai pengunjung pagi itu.
“Coach kenal dia?” tanya Fandi, seolah lupa pria di hadapannya, yang sebentar lagi berusia 55 tahun itu telah melatih bahkan sebelum remaja seangkatannya lahir.
Rozak terkekeh sebelum menyesap kopi panasnya. Pria itu kemudian menggeleng bukan untuk menjawab pertanyaan bocah kemarin sore di depan hidungnya. Ia meletakkan kembali cangkir yang kini tinggal berisi setengah cairan hitam pekat, menghela napas seolah hendak menyatakan sesuatu yang menyakitkan.
“Saya hampir merektrutnya pada 2003,” ujar Rozak lirih. Ada sedikit penyesalan dalam nada bicarany.
“Kenapa hampir?” Fandi penasaran. Namun melihat ekspresi pelatihnya yang semakin murung, kapten kesebelasan Gatot Subroto FC itu agak menyesal menanyakan hal barusan.
“Manajemen klub yang saya latih saat itu tidak setuju. Mereka bilang, merekrut gelandang serang atau penyerang lebih menguntungkan untuk tim pada waktu itu. Padahal tim sangat membutuhkan pemain bertahan tangguh yang tak kenal takut seperti Rustam.”
Fandi mengangguk pelan. Ia paham dengan maksud pelatih Rozak setelah dirinya bertemu dengan Rustam Adrianto beberapa waktu lalu dalam upaya memata-matai latihan khusus SMA Negeri Sam Ratulangi.
“Keputusannya untuk pensiun pada tahun 2007 sangat mengejutkan. Padahal saat itu manajemen tim yang saya latih sudah setuju untuk kembali melakukan pendekatan kepada Harimau Putih FC demi merekrut Rustam. Skuad kami hampir sempurna. Namun semuanya berubah total. Dua tahun saya berusaha mencari pengganti Rustam, namun sama sekali tidak ada yang bisa seperti dia.”
Fandi tertegun, lalu seperti orang yang baru saja mengingat sesuatu setelah lupa sekian lama, ia menatap dalam-dalam Pelatih Rozak di hadapannya.
“Apa itu sebabnya Coach berhenti melatih di tingkat pro?” hati-hati Fandi menanyakan hal itu.
Rozak tersenyum getir. “Mungkin,” jawabnya sambil kembali mengangkat cangkir kopi, menenggak seluruh isinya hingga tandas, menyisakan ampas serupa lumpur hitam.