Kenyataan bahwa Rozak, sosok yang sangat kreatif dan cerdas dalam memadupadankan skema permainan hingga melakukan rotasi posisi terhadap pemain, meninggalkan karirnya sebagai pelatih profesional hanya gara-gara gagal merekrut seorang bek membuat Fandi bingung.
“Saya nggak nyangka kalau Coach mundur akibat gagal merekrut satu pemain. Seorang bek?”
Rozak menatap kapten muda itu dalam-dalam, kemudian memberi isyarat kepada Mang Harto untuk mengisi ulang cangkir kopinya tanpa mengalihkan pandangannya dari Fandi.
“Dalam suatu titik permainan, ada kalanya yang kita inginkan adalah satu kepingan untuk melengkapi komposisi sempurna dalam strategi yang sudah kita rancang. Saya menyaksikan, dan merasakan kepingan itu hancur sebelum saya dapat memilikinya. Pada momen seperti itu, keinginan untuk meneruskan permainan sudah tidak ada lagi. Setidaknya, tidak di level dan jenis yang sama. Saya beberapa kali berpikir untuk hijrah ke liga asing, J-League misalnya. Tapi akhirnya saya memilih sepak bola SMA. Siapa sangka, keeping puzzle itu sekarang menjadi batu penghalang kita tahun ini.”
Bersamaan dengan selesainya penjelasan Pelatih Rozak, cangkir kedua kopi hitam sampai di meja mereka. Fandi mengangguk. Ia ingat beberapa penggiat sepak bola profesional memutuskan untuk pensiun akibat alasan-alasan yang tak kalah aneh. Jika dibandingkan dengan semua orang di luar sana, Pelatih Rozak masih cukup rasional.
“Jika memang Coach Rustam sebegitu berbahaya, apa rencana kita, Coach? Mohon maaf, tapi saya belum melihat ada perubahan berarti dari skema latihan biasanya.” Fandi menyatakan pendapatnya dengan hati-hati.
“Kau bilang si Ginola jadi bek?” Rozak mengingat-ingat informasi yang belakangan ini menjadi pembicaraan di kalangan para pelatih mau pun pemain di tingkat SMA. Anggukan samar menjadi jawaban dari Fandi.
“Rustam jauh lebih tak terduga dari yang bisa kita bayangkan,” lanjut Rozak. Kali ini, ia tidak menyentuh kopinya sama sekali.